Wednesday, 23 March 2011

Tinjauan Kasus Komunikasi Strategis (3)

Kasus 3: World Growth: Communication Campaign

Cerita:
Dalam bidang lingkungan, World Growth – lembaga non-profit internasional, mungkin satu-satunya lembaga non-pemerintah yang terang-terangan ‘menunjukkan diri’ berseberangan dengan arus besar kampanye konservasi lingkungan yang dimotori Greenpeace dan WWF, atau dalam konteks Indonesia, WWF Indonesia dan WALHI. Mereka juga tidak segan mengkritik keras Bank Dunia yang dianggap, misalnya menerapkan metode penghitungan karbon yang tidak akurat. Lihat di sini: http://www.worldgrowth.org/forestry/index.cfm?sec=10&subSec=44&id=234

Menjadi beda memang tidak salah, tetapi upaya komunikasi yang dilakukan oleh World Growth dalam mendukung apa yang mereka percayai patut diacungi jempol.

Pembahasan:
Nama World Growth menjadi makin dikenal karena keaktifannya hadir dalam kolom opini untuk koran-koran besar. Di Indonesia, Alan Oaxley (Direktur World Growth) kerap menulis untuk Jakarta Post, Kompas, dan Jakarta Globe. Untuk tingkat internasional, Alan menjadi langganan Bloomberg, CNN, CNBC, Wall Street Journal, International Herald Tribune dan New York Times. Lewat press release dan newsletter yang dikirim ke seluruh dunia, World Growth hendak mengajak penduduk dunia membuka mata akan adanya sisi lain dari pertumbuhan perekonomian dunia – walaupun harus mengorbankan hutan dan merubah fungsinya menjadi ladang sawit. Dalam kasus Indonesia, World Growth terkesan membela Sinar Mas dalam kasus pembalakan liar selain terang-terangan menunjukkan persetujuan perlunya memperluas kebun sawit untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia.

Bagi saya, komunikasi intensif yang dilakukan World Growth termasuk yang paling berhasil, terutama bila ditinjau dari teori kampanye komunikasi. Rice dan Atkin (1989) serta Storey (1987) dalam Windhal et al. (2009) menjelaskan 7 faktor penting keberhasilan suatu kampanye. Setidaknya dari 7 faktor tersebut, terdapat 4 hal yang saya amati dari World Growth selama ini:

  1. The role of mass media: komunikasi strategis World Growth sangat memahami hal ini dan memanfaatkan media massa seluas mungkin untuk menyuarakan visi mereka.
  2. Characteristics of source or medium: Alas Oaxley sangat tahu media apa yang menjadi panutan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kemunculannya di media-media penting merupakan bukti.
  3. Campaign appeals: data dan informasi yang dipakai dalam komunikasi World Growth betul-betul bisa diandalkan. Paparannya mengacu pada kasus nyata, bukan abstraksi yang mengawang-awang.
  4. Timeliness, compatability dan accessibility: World Growth selalu memberikan respon cepat terkait isu yang muncul tiba-tiba. Tidak ada kata telat. Tampak sekali mereka memonitor setiap pergerakan ‘musuhnya’ (misal Greenpeace dan WWF) sehingga setiap ada opini keras dari kedua lembaga ini, World Growth akan serta merta memberikan sanggahan atau pendapat lain, tak kalah keras.

Tinjauan Kasus Komunikasi Strategis (2)

Kasus 2: JALIN MERAPI: Convergence Communication Model

Cerita:
Bencana erupsi Gunung Merapi sejak tanggal 26 Oktober 2010 direspon oleh Jaringan Informasi Lingkar Merapi (JALIN MERAPI) dengan menyajikan data dan informasi perkembangan Gunung Merapi dan dinamika masyarakatnya. Informasi JALIN MERAPI berasal langsung dari lapangan dan digali langsung dari dan oleh masyarakat setempat bersama jaringan relawan. Saluran informasi utama yang dipakai adalah website: http://merapi.combine.or.id/Jaringan

JALIN MERAPI menggunakan beragam media untuk menyampaikan data dan informasi penting dan terkini untuk mendukung proses pengambilan keputusan atau tindakan secara cepat dan tepat. JALIN MERAPI dapat diakses melalui website, situs jejaring sosial Twitter dan Facebook, SMS Gateway, radio komunikasi, telepon, dan posko informasi di lapangan yang dikelola oleh jaringan kerja kerelawanan yang bekerja 24 jam sehari. Posko informasi JALIN MERAPI saat ini telah dibangun di lima titik lokasi, yakni di Yogyakarta, Pakem, Srumbung, Dukun, Selo, dan Kemalang.

Pembahasan:
JALIN MERAPI dapat dilihat sebagai contoh model convergence communication yang dikembangkan oleh Kincaid (1979). Dalam model ini partisipan komunikasi bertukar informasi, menerjemahkan dan memahaminya untuk membentuk suatu keyakinan bersama yang menjadi dasar suatu tindakan. Proses komunikasi terjadi terus menerus. Keakuratan persepsi, penerjemahan, dan pemahaman menjadi tidak penting, sehingga di dalamnya bisa saja terjadi kesalahan penerjemahan dan pemahaman, bahkan juga memunculkan ketidak-percayaan.

Tetapi, melalu proses komunikasi yang convergence ini, para peserta komunikasi akan sampai pada suatu pemahaman bersama (mutual understanding) yang dapat dipakai sebagai dasar suatu aksi atau tindakan bersama. Mutual understanding sendiri dipahami sebagai proses yang tidak memiliki akhir, sehingga tolerasi terhadap terjadinya kesalahpahaman juga tinggi.

Kalau kita perhatikan, komunikator (sumber informasi) dalam JALIN MERAPI juga merupakan penerima pesan. Pesan berupa informasi tentang keadaan letusan Merapi, para pengungsi, penanganan pengungsi, dll. Semuanya disajikan dalam waktu bersamaan, dalam bentuk cerita, running text, pesan pendek Twitter, SMS, bahkan berita dari HT (radio komunikasi) yang juga direlay secara streaming lewat website. Sekali lagi, keakuratan informasi bukan sesuatu yang final, tetapi terus berubah-ubah. Dampak dari penafsiran informasi adalah tindakan bersama yang akan berpengaruh pada seluruh peserta komunikasi. Kalau ada kesalahan, itu akan segera dimaklumi.

Contoh:
Informasi tentang pergerakan lahar dingin disampaikan pengamat Gunung Merapi lewat HT. Pesan diterima oleh penanggung-jawab pengungsian yang membuat keputusan untuk memindahkan pengungsi. Informasi ini disajikan di website atau disebarluaskan lewat radio (dan media massa) sehingga arus bantuan bahan makanan kepada pengungsi bisa disesuaikan. Bila informasi lahar dingin tidak akurat (misal tidak sampai mempengaruhi lokasi pengungsian), maka keasalahan informasi itu diterima dengan arif. Koreksi pesan akan dilakukan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada.

Tinjauan Kasus Komunikasi Strategis (1)

Kasus 1: Program Kementerian Kesehatan: Teori tentang Waktu dan Ruang

Cerita:
Pagi tanggal 7 November 2010, Kementerian Kesehatan muncul di Metro TV (jam 07.05-07.30) dalam tayangan bertajuk Menuju Indonesia Sehat. Menteri Kesehatan muncul beberapa kali menjelaskan apa yang menjadi visi misi Kementerian Kesehatan serta apa yang sudah dan akan dilakukan terkait upaya membuat Indonesia menjadi negara yang lebih sehat. Ada obrolan tentang gizi buruk dan ibu hamil. Juga tentang keberhasilan berbagai program kesehatan. Jelas sekali tayangan ini bertujuan untuk mengharumkan nama Kementerian Kesehatan lewat beberapa keberhasilan kerja yang dicapai.

Bahasan:
Tayangan ini tidak menjadi soal bila diudarakan bukan pada saat Indonesia berduka karena musibah Gunung Merapi dan Tsunami Mentawai. Ada ironi bila kita mengaitkan apa yang muncul di tayangan TV dengan apa yang ‘dilakukan’ dan ‘tidak dilakukan’ oleh Kementerian Kesehatan dalam kondisi tanggap darurat di kedua lokasi bencana di atas. Secara umum, pemerintah diberi ‘rapor kurang bagus’ dalam hal penanganan bencana. Ironi yang dimaksud terasa sekali bila mendengar penjelasan Menteri Kesehatan terkait capaian-capaian Kementerian yang dia pimpin. Ada sumringah di tengah duka.

Dalam promosi kesehatan ini, timing merupakan elemen yang tidak diperhatikan oleh Kementerian Kesehatan. Atikins (1981) dalam Windhal et al. (2009) menyebutkan timing merupakan faktor penentu keberhasilan komunikasi. Solusi yang mungkin dai situasi ini adalah merubah waktu tayang.

Hal lain dari tayangan ini adalah menyangkut space (ruang). Dalam Windhal et al. (2009), sekurangnya ada 3 ahli yang berbicara mengenai hal ini: Barnlund (1968), Hall (1966), dan Autischer & Maier-Rable (1987). Mereka sepakat bahwa masalah ruang perlu diperhatikan bila menghendaki komunikasi efektif. Promosi informasi kesehatan yang dilakukan Kementerian Kesehatan bisa jadi akan berdampak lebih positif bila disiarkan melalui saluran TV yang tidak disiarkan di Yogyakarta (atau daerah bencana lainnya). Metro TV masih tetap bisa dipakai dengan catatan tayangan tersebut tidak dipertontonkan kepada para pengungsi yang sedang menderita lahir batin. Bagaimana mungkin Menteri Kesehatan bercerita tentang keberhasilan program sanitasi sementara di lokasi penampungan pengungsi, fasilitas sanitasi tidak tersedia secara memadai?

Bukannya akan mendapat nama harum karena tayangan Menuju Indonesia Sehat, Kementerian Kesehatan justru akan mendapat cibiran.

Pelembagaan Komunikasi Strategis di Eropa

Tugas Review Artikel Jurnal
Mata Kuliah: Teori Komunikasi Strategis

Pelembagaan Komunikasi Strategis di Eropa
Hasil Survey di 37 Negara
Ralph Tench, Piet Verhoeven, Ansgar Zerfass
International Journal of Strategic Communication (3: 147-164)
Routledge (2009)

Latar Belakang
Artikel ini didasarkan pada analisa hasil survei tahunan yang dilakukan European Public Relations Education and Research Association (EUPRERA), sebuah lembaga independen yang berkedudukan di Brussel, Belgia. EUPRERA bertujuan mendorong kemajuan ilmu dan praktik public relations di benua Eropa melalui kegiatan pendidikan dan penelitian. Survei tahunan EUPRERA dimulai tahun 2007, melibatkan puluhan ribu responden dari 37 negara, dan dipublikasikan di bawah judul European Communication Monitor (ECM). Analisa untuk bahan penulisan artikel ini menggunakan laporan ECM tahun 2008.

Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dari analisa ini terkait dengan institusionalisasi atau pelembagaan komunikasi strategis di Eropa:
  1. Apakah para manajer komunikasi sama dengan ‘tahanan’ yang frustasi di dalam lembaganya ataukah merupakan praktisi yang bebas dan terhormat, yang menempatkan diri sebagai bagian permanen dan penting dalam infrastuktur organisasi?
  2. Apakah para praktisi dan departemen komunikasinya menjadi bagian yang integral dengan organisasi, dan dengan demikian terlembagakan?

Tentang Metodologi
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, para peneliti menganalisa hasil survei ECM tahun 2008. Survei ECM sendiri bersifat kuantitatif. Kuesioner survei dikirim kepada sekitar 20.000 profesional komunikasi di seluruh Eropa melalui email dan juga disebar lewat asosiasi manajer komunikasi di tiap-tiap negara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.000 responden berpartisipasi dalam survei, tetapi tidak semuanya menjawab kuesioner dengan lengkap. Agar konsisten dengan tujuan analisa dalam artikel ini, maka hanya jawaban lengkap yang dipakai. Responden yang tidak bekerja dalam lingkup manajemen komunikasi, juga dari kalangan akademisi dan mahasiswa, tidak dimasukkan. Pada akhirnya yang dianalisa hanyalah sebanyak 1,524 kuesioner, merupakan kuesioner yang dijawab lengkap oleh para responden, yaitu praktisi manajemen komunikasi dari sektor publik maupun swasta, termasuk organisasi non-profit.

Hasil Penelitian
Menjawab pertanyaan penelitian, analisa yang dilakukan terhadap ECM 2008 menunjukkan bahwa para praktisi komunikasi strategis bukanlah ‘tawanan’ karena mereka melakukan peran penyambung komunikasi antara organisasi dan lingkungannya, dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan bagaimana komunikasi korporat ditempatkan lebih utama ketimbang komunikasi pemasaran/merek dan komunikasi dengan konsumen.

Dari apa yang dilakukan para praktisi manajemen komunikasi, dapat dikatakan mereka adalah praktisi yang fleksibel dalam mencari, menerima, memproses, dan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, baik internal maupun eksternal. Apa yang mereka lakukan dalam CSR dan komunikasi korporat merupakan contoh nyata bagaimana komunikasi strategis telah menjadi bagian integral dari organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi strategis sudah terinstitusionalisasi.

Teori Hierarchy of Effects

Merupakan teori dalam dunia periklanan untuk menjelaskan langkah-langkah yang dilalui konsumen dalam membuat keputusan membeli suatu produk.

Teori ini terus berkembang. Argumen pembedanya terletak pada urutan langkah yang dilalui konsumen. Ada yang mulai dari pengenalan produk melalui informasi tersaji, dengan sample produk, dll.

Masing-masing pada dasarnya mirip yaitu mengandaikan terjadinya proses kognitif dan perubahan sikap dan tindakan pembelian.

1898: St. Elmo Lewis
Stair-step hierarchical framework
1. attract attention (menarik perhatian)
2. interest (menumbuhkan minat)
3. desire (menjadi keinginan)

Action-implicative discourse analysis
1. attract attention (menarik perhatian)
2. interest (menumbuhkan minat)
3. desire (menjadi keinginan)
4. act (membeli produk)

Contoh:
  1. Penjual pakaian di Tanah Abang teriak-teriak, “Boleh-boleh-boleh … .”
  2. Carrefour China menunjuk seorang staf berteriak-teriak mempromosikan produk (mengikuti kebiasaan di pasar tradisional China)
  3. Di Mangga Dua mall Jakarta: jual mainan anak-anak helikopter atau mobil remote control

1960: Robert Lavidge dan Gary Steiner
Tujuh langkah yang dilalui konsumen sebelum membeli produk:
1. unawareness,
2. awareness,
3. knowledge,
4. favourable attitude toward the product,
5. favourable attitude toward the brand,
6. desire and conviction
7. actual purchase

Ini merupakan langkah-langkah yang diikuti dalam mengiklankan produk dalam jangka waktu yang lama melalui berbagai jenis iklan (dikerjakan secara simultan: missal lewat televisi, pengenalan produk langsung di supermarket, pemberian goodybag dalam seminar, dll.)

Contoh: Iklan produk perawatan bayi (sabun, baby oil, bedak, dll.)

Russel Coney
Defining advertising goals for measured advertising results
1. Awareness
2. Comprehension
3. Conviction
4. Action

Mengukur efektifitas iklan tidak cukup dengan melihat hasil penjualan, tetapi dengan tujuan-tujuan komunikasinya.

William McGuire
Information processing model
1. Information presented (disajikan)
2. Information attended to (diperhatikan)
3. Information comprehended (dimengerti)
4. Information yielded to (diakui)
5. Information retained (disimpan)
6. Information acted on (dilaksanakan)

Contoh: sebagian besar iklan zaman sekarang mengikuti model ini.

Michael Ray et. al. (1970)
1. Learning model
a. Cognitive understanding (difikirkan)
b. Attitude development (dirasakan)
c. Action (dilakukan)

Contoh: Dalam membeli laptop, konsumen menimbang berbagai keuntungan dan kerugian setiap merek (kualitas, harga, purna jual, dll), diresapi, lalu dijadikan alasan memilih produk.

2. Dissonance-attribution hierarchy
a. Consumers behave or act (dilakukan)
b. Consumers develop feelings towards the brand as a result of their actions (dirasakan)
c. Consumers create cognitive arguments to support their behaviour (diresapi dan dicarikan alasan pembenar)

Contoh: Pakaian bermerek Nevada, murah (terjangkau bagi sebgain besar konsumen), monsumen membuktikan (misal produk bagus dan kuat), konsumen menjadi yakin (lalu membeli lagi)

3. Low-involvement hierarchy
a. Consumers act (dilakukan)
b. Consumers learn as a result (dipelajari)
c. Consumers develop feelings and attitudes (dirasakan dan disikapi)

Contoh: Membeli produk furniture Ligna, lalu dipelajari apakah sesuai dengan keinginan, keputusan akan membeli produk Ligna lagi.

Monday, 7 March 2011

Moral Reasoning

Ringkasan Artikel karya Dr. Charles K. Fink (Miami Center for Ethical Awareness - Miami Dade College)

Artikel ini membahas cara-cara logis (moral reasoning) dalam menjelaskan argumen di balik suatu pandangan atau pendapat tentang moral/etika. Ada penjelasan yang bagus ada pula penjelasan yang tidak bagus. Artikel ini juga memeparkan beberapa konsep logika dasar, dua jenis argumen moral, dan bagaimana mengenali kekeliruan-kekeliruan yang ada dalam argumentasi moral.

Konsep Dasar Logika dan Validitas

Contoh (Singer): karena penderitaan/kematian oleh sebab kelaparan, tidak punya tempat bernaung, atau tidak mendapatkan layanan kesehatan merupakan sesuatu yang buruk (1), sementara membeli pakaian (bukan untuk meperoleh fungsi agar tubuh terlindung dari rasa dingin, tetapi semata untuk penampilan) masih bisa dianggap secara moral tidak cukup penting, maka akan lebih baik menyumbangkan uang kita untuk mencegah penderitaan/kematian karena kelaparan, tidak memiliki tempat bernanung, atau tidak mendapatkan layanan kesehatan (3).

Pertanyaan: apakah penjelasan atau argumen ini bisa diterima? Jika premis (1) dan (2) benar, maka kesimpulan (3) pasti benar. Ini disebut argumen yang valid. Dengan demikian, dapat dikatakan apa yang dicontohkan Singer adalah argumen yang valid.

Tetapi ada juga yang premisnya bermasalah. Misal: apakah karena adanya resiko kematian karena jenis pekerjaan tertentu dan karenanya orang dilarang melakukan pekerjaan itu?

Tentu saja itu tidak benar. Maka dari itu, bila suatu argumen ingin disebut bagus, maka syaratnya harus lengkap: penjelasannya valid dan semua premis benar. Dalam kasus di atas, salah satu premis bermasalah.

Silogisme Moral

Merupakan argumen tentang suatu moral yang didasarkan pada prinsip umum moral. Misalnya dalam pernyataan berikut: (1) Adalah salah membunuh manusia tak berdosa. Melakukan eutanasia merupakan tindakan membunuh manusia tak berdosa. Dengan demikian, eutanasia adalah salah. (2) Adalah salah membunuh manusia tak berdosa. Melakukan aborsi merupakan tindakan membunuh manusia tak berdosa. Dengan demikian, aborsi adalah salah.

Kedua pernyataan tersebut didasarkan pada prinsip dasar moralitas bahwa membunuh manusia tak berdosa adalah salah. Itulah yang disebut silogisme moral.

Analogi Moral

Merupakan argumen moral yang didasarkan pada perbandingan antar kasus yang analogis. Analogi moral hanya bisa dilakukan bila kasusnya benar-benar sama.

Kasus Thomson (violist) – tidak sadar sistem peredaran darahnya disambungkan dengan perempuan BERBEDA dengan kasus aborsi yang dilakukan seorang perempuan (yang melakukan hubungan seksual secara sadar hingga hamil).

Kasus si perempuan hamil (Thomson) beda dengan kasus kehamilan akibat perkosaan. Dalam hal ini, malah dapat disamakan dengan kasus violist Thomson. Melepas saluran sirkulasi darah analogis dengan aborsi (dalam kehamilan akibat perkosaan).

Kekeliruan dalam Argumen Moral

Merupakan argumen moral yang secara logis cacat karena dasar perbandingan adalah hal-hal terkait dengan alam, orang, tradisi, agama, dll. Dijelaskan dengan contoh di bawah ini:

Alam: Manusia pada dasarnya adalah pemakan daging. Jadi, tidak salah kalau makan daging babi atau sapi. Ini keliru karena tidak ada hubungan konseptual antara sifat alamiah (how things are) dengan moralitas (how things ought to be).

Manusia: Hisap mariyuana boleh, bahkan di Amerika ada dasar pembolehannya kok. Ini keliru karena didasarkan pada fakta tentang banyaknya orang yang mengisap mariyuana. Padahal tidak semua yang dilakukan banyak orang pasti benar. Dalam bentuk lain, sesuatu itu tidak otomatis benar hanya karena banyak orang percaya kebenarannya.

Tradisi: Menurut tradisi, perkawinan adalah antara laki dan perempuan. Jadi, perkawinan antar sesama jenis tidak benar. Ini keliru karena dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama bukan berarti pembenaran.

Argumentum ad Hominen: Kamu juga sering telat, kok aku saja yang disalahin!

Slippery Slope: Ketakutan karena membolehkan hal baru akan berakibat menjalar pada yang lain. Misal membolehkan perkawinan sejenis akan menyebabkan pembolehan poligami atau polyamory atau bahkan perilaku kebinatangan.

Agama: Hukuman mati boleh karena ada disebut dalam Bibel. Masalahnya, di dunia ini ada banyak agama. Agama mana yang benar? Tak seorangpun tahu. Perbedaan pendapat tentang benar dan salah dalam satu agamapun tidak bisa dihindarkan.