Tuesday, 19 October 2010

Ujian Tengah Semester

Untuk pelajaran Metodologi Penelitian, tidak ada ujian. Sebagai gantinya, kami diminta oleh Pak Djoko untuk membuat satu proposal penelitian kuantitatif. Dateline: 3 minggu dari sekarang atau sekitar tanggal 10 November.

"Kalau bisa, yang diangkat dalam proposal merupakan masalah yang nantinya akan diteliti untuk jadi thesis," kata Pak Djoko.

Sebenarnya, cara ini merupakan peluang bagi para mahasiswa segera memulia berfikir tentang tugas akhir. Para dosen siap membantu, walau secara informal lewat berbagai saluran komunikasi semisal email atau bertemu langsung di kampus. Teman-teman kuliah juga masih lengkap. Dapat jadi tempat curhat atau diskusi segala rupa. Kalau diandaikan menabung, draft proposal untuk pengganti ujan tengah semester ini merupakan langkah kecil yang sangat berarti ketika nantinya masa pembimbingan thesis sudah dimulai.

Berikut adalah sistematika proposal yang diharapkan:
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Signifikansi Penelitian
5. Kerangka Teoritis
6. Definisi Teoritis dan Konseptual
7. Metode Peneltian
8. Daftar Pustaka

Pak Djoko menyarankan untuk memulai dari bagian #2 yaitu Rumusan Masalah dimana (a) fakta nyata yang bertolak belakang dengan yang ideal (masalah) dijabarkan, diikuti dengan uraian tentang (b) gap/kesenjangan, yang kemudian diformulasikan menjadi (c) pertanyaan penelitian.

"Cukup tiga paragraf," tegas Pak Djoko menekankan pentingnya memulai dari bagian ini karena bagian tentang Latar Belakang bisa menyusul.

Pak Djoko menjelaskan bahwa para mahasiswa biasanya menemukan kesulitan pada bagian Latar Belakang ketika akan menjelaskan bukti-bukti empiris terkait permasalahan yang diangkat.

"Jangan sampai yang dianggap masalah hanya di khayalan semata, bukan berangkat dari kenyataan empiris di lapangan. Biasanya juga, mahasiswa berhenti lama di bagian ini karena kekurangan bukti-bukti empiris yang dapat dicantumkan dalam thesis."

Sebagai panduan, masalah yang diangkat sebagai bahan penelitian haruslah merupakan masalah dalam bidang komunikasi, benar-benar terjadi di lapangan, serta bisa ditunjukkan buktinya (laporan media, statemen yang punya otoritas, laporan tahuna perusahaan, dll.)

Monday, 11 October 2010

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ulasan singkat tentang teori di posting sebelumnya, terasa tak lengkap tanpa membicarakan tiga kajian filsafat yang merupakan jabaran elemen pertama teori (asumsi-asumsi filsafat) yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi (mempelajari sifat realitas) merupakan kajian filsafat yang membahas keberadaan sesuatu (eksistensi). Yang menjadi obyeknya adalah being: the nature of reality. Dalam pemahaman kualitatif, realitas bersifat jamak (in here), sementara dalam pemaknaan kuantitatif, realitas adalah tunggal (in there).

Epistemologi (mempelajari bagaimana pengetahuan diperoleh) merupakan kajian filsafat yang membahas hubungan antara the knower (peneliti) dengan the known (apa yang diteliti). Relasi tersebut berbeda-beda. Dalam pemahaman kuantitatif, hubungan tersebut berjarak supaya peneliti mampu mendapatkan kebenaran yang obyektif, sementara dalam pemahaman kualitatif, antara peneliti dengan yang diteliti tidak berjarak. Peneliti menjalin hubungan dengan realitas yang diteliti.

Aksiologi adalah kajian tentang nilai (value). Pertanyaand alam kajian aksiologi adalah apakah suatu pengetahuan bersifat bebas nilai? Ataukah bebas atau sarat dengan nilai? Dalam kerangka pemikiran kualitatif, pengetahuan sarat dengan nilai. Sebaliknya, dalam pemikiran kuantitatif, pengetahuan bebas dari nilai.

Wow .. sampai saat ini ... aku belum paham apa yang aku tulis ...

Catatan: menuliskan kembali apa yang kita 'anggap' kita pahami adalah salah satu teknik dalam belajar, yaitu upaya memaku ingatan tentang suatu pengetahuan baru (istilah kerennya: melakukan internalisasi).

Mendengar, membaca, megungkapkan kembali secara lisan, menuliskan, adalah rangkaian aktifitas belajar.

Aku sudah melewati keempat proses tersebut, tapi tak kunjung mendapatkan pemahaman. Ini berarti apa? Dalam teori pendidikan, ditekankan perlunya perulangan. Makanya ada istilah ulangan (ujian) di sekolah-sekolah. Repetition (pengulangan) adalah salah satu cara mematri pengetahuan dalam diri pembelajar.

Nampaknya aku perlu banyak mengulang nih .. Apalagi kalau ingat lirik lagu qosidah 'belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa, bagaikan mengukir di atas air.

Pengembaraan Belantara Teori

Semalam kuliah terasa berat. Disamping materi yang tidak ringan (cerita tentang teori), kelopak mata seperti mau terkatup saja. Teknik lama diterapkan: banyak bertanya biar jaga. Gak penting pertanyaannya ora mutu, sing penting muni, hehe, teknik jitu biar tak terlelap di kelas .. hehehe.

Baiklah, ini sedikit oleh-oleh pelajaran yang bisa aku tangkap di tengah kantuk yang menyerang. Sajian di tulisan ini agak 'nggrambyang' tetapi sejalan dengan himbauan dosen kami, Dr Turnomo Rahardjo, "Mari kita biarkan obrolan mengembara memasuki belantara, supaya kita tahu belantara ini seperti apa."

Perjalanan mengembara saat ini belum disertai misi 'memahami tuntas', tetapi terbatas pada 'sudah pernah melihat.'

Buku panduan pelajaran: A first Look at Communication Theory (Em Griffin)

Pelajaran dimulai dengan penjelasan Pak Tur bahwa yang dimaksud dengan inqury adalah upaya menghasilkan teori melalui 3 langkah berikut:
1. Asking questions - mengajukan pertanyaan
2. Observing - melakukan pengamatan
3. Constructing theory - menyusun teori

Lalu dijelaskan perbedaan antara teori dengan taxonomi. Teori adalah konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain sementara taksonomi merupakan kumpulan konsep yang tidak menunjukkan hubungan satu sama lain.

Di dalam bab awal proposal atau hasil suatu penelitian, kerap dijumpai bagian yang menjelaskan tentang kerangka teori dan kerangka konsep. Apa beda keduanya?

Kerangka konsep: biasa ditemukan dalam penelitian tipe deskriptif (pendekatan kualitatif): misal penelitian tentang perilaku komunikasi suku terasing di suatu lokasi.

Kerangka teori: biasa ditemukan dalam studi eksplanatif (pendekatan kuantitatif) yang mencari penjelasan tentang suatu relasi kausalistik: misal penelitian tentang pengaruh televisi pada anak.

Mengenai teori, dijelaskan adanya 3 sifat teori:

1. Abstrak: tidak ada satu teori yang mampu menjelaskan semua. teori selalu berfokus pada satu bidang dan melupakan (meniadakan) bidang yang lain.

2. Konstruktif: teori merupakan hasil pemikiran manusia yang memiliki kelebihand an kekurangan (merupakan hasil berfikir manusia). Implikasi dari pemahaman sifat konstruktif teori adalah: lebih baik mempertanyakan kegunaan teori ketimbang kebenaran teori.

3. Terkait tindakan: bahwa setiap tindakan, sadar atau sadar, selalu dipandu teori. Ini berarti teori dan tindakan intelektual saling terkait satu sama lain.

Penjelasan yang merupakan inti dari perkuliahan malam tadi (11 Oktober 2010) adalah mengenai 4 elemen dasar teori.
1. Asumsi-asumsi filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
2. Konsep
3. Eksplanasi
4. Prinsip-prinsip

Perlu diingat, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan teori, sifat-sifatnya, juga elemen-elemennya akan sangat membantu kita dalam memahami gagasan-gagasan dalam setiap teori komunikasi. Dengan pemahaman itu pula kita akan tahu konsep-konsep apa yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi tertentu (misal uncertainty reduction theory) yang akan membantu kita menelusuri pangkal filsafat berfikirnya dan oleh karenanya akan tahu pendekatan dipakai, apakah kuantitatif maupun kualitatif.

Pemahaman akan 'belantara' teori merupakan pengantar bagi mahasiswa S2 dalam mempersiapkan diri menjadi teoritisi, yang diharapkan mampu menerapkan, menjelaskan, bahkan memberikan sumbangan terhadap upaya pengembangan suatu teori.

Ada ungkapan anekdot Dr Turnomo, "Memahami teori itu keren." Saat ini aku belum mampu menangkap maknanya. Mungkin kelak, bila aku udah banyak baca dan mulai paham sedikit demi sedikit mengenai teori (khususnya teori komunikasi), 'keren' itu bisa aku pahami.

Nah .. itu sedikit yang 'dapat aku tangkap. Selainnya, lewat-lewat saja he2 .. maafkan .. :)

Baca juga posting berikut tentang ontologi, espitemologi, dan aksiologi.

Sunday, 10 October 2010

Cerita Polling Pemilu

Senang sekali membaca Bab 7 buku "The Basics of Communication Research" tulisan Leslie A. Baxter dan Earl Babbie (Wadsworth - 2004). Bagian awal bab yang diberi judul "The Logic of Sampling" itu bercerita tentang asal mula teknik sampling dalam penelitian komunikasi.

Adalah Literary Digest, majalah berita populer di Amerika (1890-1938), yang pada tahun 1920 melakukan polling untuk memprediksi pemenang pemilihan presiden di Amerika, antara kandidat Warren Harding dan James Fox.

Kartu pos dikirim kepada responden yang dipilih dari buku kuning dan data kepemilikan mobil. Digest sukses menebak Harding jadi presiden. Kesuksesan berlanjut untuk 3 periode polling berikutnya (1924, 1928, dan 1932) tetapi gagal pada 1936 ketika Roosevelt (incumbent) bertarung melawan Alf Landon.

Salah satu penjelasan sebab kegagalan tersebut adalah pada sampling frame yang digunakan, dalam hal ini pemilik pesawat telepon dan pemilik mobil - kelompok masyarakat yang tergolong makmur. Teknik sampling tersebut tidak memasukkan kelompok miskin Amerika yang dalam kondisi depresi ekonomi saat itu lebih memilih Roosevelt yang berkampanye dengan program "New Deal" - sebagai respon terhadap dampak resesi ekonomi melalui apa yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan "3 Rs" - relief, recovery and reform: bantuan bagi para penganggur dan rakyat miskin, mengangkat kembali ekonomi Amerika ke level normal, dan reformasi sistem finansial untuk mencegah gelombang depresi selanjutnya. Dalam kondisi bangsa Amerika saat itu, New Deal merupakan kampanye yang ciamik.

Yang sukses meramalkan kemenangan Roosevelt adalah Gallup - American Institute of Public Opinion. Gallup menggunakan teknik quota sampling dimana responden dipilih berdasarkan karakteristik populasi yang diteliti: proporsi laki-laki, proporsi perempuan, proporsi berdasarkan variasi pendapatan, usia, dll. Dengan quota sampling, Gallup meneruskan sukses dalam polling tahun 1940 dan 1944.

Tahun 1948, Gallup dan hampir semua lembaga polling di Amerika salah prediksi. Mereka meramalkan Truman kalah. Yang terjadi sebaliknya. Truman menang atas kandidat Thomas Dewey. Kegagalan tersebut dijelaskan sbb: (1) sebagian besar lembaga polling menghentikan analisa pada bulan Oktober pada saat grafik Truman terus menunjukkan kestabilan, (2) banyak pemilih yang masih belum memutuskan pilihan selama masa-masa kampanye tetapi kemudian pilih Truman ketika sudah berada dalam bilik suara, (3) sample tidak representatif (ini adalah penyebab utama).

Quota sampling menjadi penyebab kegagalan Gallup tahun 1948 tersebut. Dalam teknik ini, peneliti diharapkan tahu tentang total populasi. Data total populasi diperoleh dari hasil sensus penduduk. Gallup menggunakan data sensus tahun 1940 sementara pada tahun-tahun sekitar 1948 terjadi urbanisasi besar-besaran di seantero Amerika karena terjadinya Perang Dunia II. Penduduk kota cenderung memilih Demokrat (Truman) sehingga terjadi over-representasi pemilih rural yang sekaligus berarti under-estimasi pemilih Demokrat.

Menarik bukan?

Lebih sip lagi kalau menelaah apa yang terjadi tahun 2000 lalu ketika Bush menang melawan Al Gore. Tapi maaf, aku gak bisa jelasin lebih mendetail. Aku gak paham apa yang dimaksud dengan 3-4 percentage points yang merupakan fenomena dalam polling tahun itu. Ada yang bisa bantu?

Tetapi ada satu yang aku pelajari dari membaca bagian awal Bab 7 ini, dan ini bagiku sungguh menakjubkan. Apa itu? Hanya dengan wawancara kurang dari 2000 orang, lembaga polling bisa memprediksi kecenderungan pilihan lebih dari 100 juta pemilih. Wow! Hanya 2000? Untuk 100 juta pemilih? Caranya? Hmmm .. kayaknya kudu baca semua bab dalam buku ini supaya tahu jawabannya ...

Satu lagi: ada faktor-faktor yang 'kelupaan' (misal: dalam konteks Amerika - urbanisasi besar-besaran sekitar tahun 1948 yang merubah data sensus 1940) yang kemudian alfa dipertimbangkan dalam penentuan sample. Dari sini aku pelajari kesuksesan penelitian ternyata terpulang pada cara penentuan sample. Bener gak ya?

Ayoooo .. sekarang pada bacaaaa .... :)

Friday, 8 October 2010

Renungan Untuk TVRI dan RRI

Ada beberapa peluang yang mestinya bisa dimanfaatkan lembaga penyiaran publik (LPI - TVRI dan RRI) dalam menjamin keberlangsungan hidupnya dalam jagat komunikasi negeri ini. Sebagai yang diberi mandat penyiaran pro-sosial, yang berpihak pada publik, kedua lembaga penyiaran ini mestinya bisa hidup terhormat tanpa perlu menyewakan halaman kantor mereka sebagai tempat bursa mobil bekas (fenomena di TVRI Yogyakarta dan Semarang) demi mendapatkan tambahan pendapatan.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan TVRI dan RRI berada dalam kondisi hidup segan mati tak hendak. Perlahan namun pasti, kedua lembaga penyiaran yang memiliki sejarah panjang sebagai pemersatu bangsa sejak zaman awal kemerdekaan dulu mulai ditinggalkan pemirsa dan pendengar. Saat ini persaingan media sangatlah ketat. Sekedar analogi, tanpa keterampilan dan energi yang cukup, seorang pemain sepakbola profesional lambat laun akan ditendang pelatihnya - tak dipakai lagi.

Dalam diskusi Kuliah Komunikasi Massa yang dibimbing Dr Turnomo Rahardjo kemarin malam (8 Oktober 2010), terungkap berbagai hal yang 'mestinya' bisa dimanfaatkan TVRI dan RRI untuk tetap eksis.

1. Undang-undang menyebutkan hanya TVRI dan RRI yang merupakan lembaga penyiaran publik. Yang lain adalah lembaga penyiaran komersil semacam RCTI, Metro TV, Radio Elshinta, Radio Trijaya dll. atau lembaga penyiaran komunitas (dengan jarak jangkauan maksimal 2 km.) Dengan peran ini, TVRI dan RRI semestinya bisa memfokuskan diri pada konten siaran yang pro-sosial atau berpihak pada kemajuan bangsa. Yang terjadi sekarang adalah kedua lembaga seakan berusaha bermain di wilayah komersil terlihat dari usahanya menarik iklan maupun meniru program.

2. Kaitannya dengan program, kalau mampu melihat peluang baik, maka TVRI dan RRI akan selalu mendapat tempat di hari permirsa dan pendengar. Ada beberapa program mereka yang sampai saat ini tidak mendapatkan 'saingan' seperti acara-acara yang mengekspos seni budaya anak bangsa semacam musik keroncong, sendratari, atau sandiwara. Dulu RRI punya program sandiwara radio yang berisi pesan-pesan pembangunan, bercerita tentang keindahan hidup dalam latar belakang agraris, mendorong motivasi rakyat untuk berkarya dan tak putus asa. Apakah acara-acara semacam itu masih ada?

3. Jaringan luas sampai ke ujung perbatasan hanya dimiliki TVRI dan RRI. Banyak dari kita yang mendapatkan kegembiraan bisa mendengarkan siaran berita nasional ketika sedang berada di suatu wilayah antah berantah di sudut terjauh Indonesia. Ketika siaran lokal tak mamu menjangkau, TVRI dan RRI terasa sangat dekat.

4. Juga tentang jaringan, kita tahu TVRI dan RRI memiliki kantor di daerah. Kita kenal ada TVRI lokal seperti TVRI Stasiun Yogyakarta atau Semarang. Lalu ada RRI di daerah, dikenal dengan RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah). Dalam dunia yang makin terhubung, memiliki jaringan adalah aset. Kapan aset itu bisa dimanfaatkan efektif oleh TVRI dan RRI?

Itulah sekelumit hal yang bisa dijadikan renungan bagi penyelenggara TVRI dan RRI supaya mereka tak hanya berguna untuk mencocokkan jam tangan atau pas menunggu bedug magrib penanda buka puasa. Sayang sekali kalau fungsi kedua lembaga besar tersebut hanya sebatas remeh temeh seperti itu.

Renungan pendek ini tidak bermaksud menghakimi TVRI dan RRI yang dari 'sononya' sudah memiliki nama besar. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penjelas mengapa kondisi kedua LPI belum membaik dalam beberapa windu belakangan ini.

1. Organisasi TVRI dan RRI adalah organisasi birokrasi raksasa dengan jumlah staf yang tidak sedikit. Diperlukan rasionalisasi besar-besaran untuk membuatnya menjadi organisasi langsing tapi berkualitas. Tetapi apakah pemerintah mampu mengadakan dana besar untuk melakukan PHK besar-besaran? Ini adalah pekerjaan rumah bagi semua.

2. Di era teknologi komunikasi sekarang, teknologi menyediakan peralatan siar yang tidak memerlukan banyak operator. Apakah TVRI dan RRI sudah berinvestasi cukup untuk menggantikan peralatan sial mereka yang sudah layak masuk museum? Ini juga pekerjaan rumah, menyangkut dana besar.

3. Bagaimana dengan sumberdaya manusia? Cukupkah tersedia personel siar, wartawan, staf dokumentasi dan perpustakaan, peneliti, editor, dll? Kapan terakhir mengirim wartawan untuk belajar? Studi banding?

Nah .. itu dulu uraiannya (maaf kurang lengkap, catatan kuliah ketinggalan entah dimana .. hehehe) .. Kalau ada yang nambahin, dipersilahkan ... supaya memperkaya pemahaman kita tentang TVRI dan RRI yang kita cintai bersama .. tenan loh .. aku cinta mereka, karena mereka jadul ... :) Udah bosen sama Ipod dan sinetron! Maunya kembali ke zaman dulu saja ... yang penuh nostalgia Mana Suka Siaran Niaga .. hahahaha ..

Bravo TVRI dan RRI!

Tuesday, 5 October 2010

Beda S2 di Luar Negeri dengan di Semarang

Aku membayangkan kuliah S2 di luar negeri bisa jadi sangat berat dibandingkan dengan di Semarang (baca: dalam negeri). Luar negeri tidak mesti Eropa atau Amerika. India dan Filipina juga merupakan tantangan tersendiri bagi para pelajar.

Kendala bahasa akan selalu menjadi yang terberat. Bagaimanapun, kemampuan Bahasa Inggris (speaking, listening, writing, dan reading) merupakan syarat mutlak. Akan sangat menyusahkan bila harus mendengarkan dosen atau diskusi di kelas dengan kemampuan Bahasa Inggris yang pas-pasan. Harus konsentrasi penuh (baca: mengernyitkan kening) bila tak mau kehilangan jejak. Kalau vokal dosennya jelas, mungkin kita akan terbantu, tetapi beberapa penutur Bahasa Inggris berbicara seenak udele dhewe, bawa-bawa dialek kampungnya atau terpengaruh bahasa ibunya (mother toungue) yang kebetulan bukan English. Doi dari Jamaika!

Kuliah di Semarang tentunya jauh lebih memudahkan. Mendengarkan kuliah sambil SMS-an atau ketik email masih bisa kita lakukan. Dengar samar-samar dari luar, karena sedang merokok di bawah jendela (hehehe), juga masih bisa mengerti materi perkuliahan.

Bayangkan kalau kuliah di Amerika. Bahasa akan menjadi penghalang dalam berbicara dengan teman sekelas, tanya kejelasan tugas, tanya buku referensi. Mungkin yang ini agak mudah karena teman mestinya paham bila Bahasa Inggris kita kurang mantab. Tetapi mungkin dampaknya stressing bila gak bisa ikut guyon, melontarkan seloroh atau sekedar joke, bisanya cuma mesem-mesem, ngerti tapi tak bisa membalas. Oh... rasanya bakal berat di hati.

Kuliah di Semarang, mestinya juga lebih mudah. Buku terjemahan banyak. Kios fotokopi berceceran di daerah seputar kampus. Tak paham dengan hal tertentu, dengan mudah tanya dosen atau teman lain, tanpa kendala bahasa. Di Belanda, terjemahan buku pegangan kuliah barangkali memang ada. Tetapi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Belanda! Tambah mumet bukan?

Kendala lain kuliah di luar negeri adalah perbedaan budaya. Kuliah di Semarang, seorang dari Lombok tak perlu banyak adaptasi. Sama-sama orang Indonesia. Tetapi bila kuliah di Australia, hmm .. kebayang deh berbagai kekagetan budaya (cultural shocks) kalau tak arif bersikap. Cipika cipiki adalah hal lumrah di Sydney. Bahkan pemandangan seorang mahasisi bergelayutan (kadang lebih dari sekedar gelayutan) di pelukan seorang mahasiswa lain (mereka memang pacaran) bukan hal yang jarang. Pakaian mahasiswa di musim semi atau musim panas menebarkan pemandangan 'indah.' Bagi yang suka 'menundukkan pandangan,' dituntut untuk lebih sabar lagi.

Ada hal lain yang menurutku paling berat, yaitu dalam masa-masa matrikulasi. Bagi mahasiswa dengan latar belakang S1 yang sama dengan S2 yang diambilnya, maka masa ini akan dapat dilewati dengan relatif lebih mudah. Yang dari jurusan lain memerlukan energi ekstra: membaca bergunung-gunung buku supaya bisa memahami apa yang menjadi the big picture dari program kuliah yang dia ambil. Pelajaran teori, filsafat, dan ilmu-ilmu dasar lainnya, biasanya diberikan pada perkuliahan awal. Kalau tidak mudeng, bakal susah. Untuk mudeng filsafat ilmu kuliah ilmu komunikasi di Mikom UNDIP, seorang mahasiswa perlu sekurangnya 5 buku (apa iya? heheh . perlu diuji nich kebenaran angka 5). Di luar negeri, kalau tak bergunung-gunung, minimal berbukit-bukit deh ...

Tetapi ..

Nih ada tetapinya. Kuliah S2 di luar negeri tetap sangat menarik bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Bahkan mahasiswa S2 yang sedang kuliah di Semarang, contohnya saya hehehe, mau-mau saja meninggalkan Semarang kalau ada kesempatan sekolah di Amsterdam atau Melbourne.

Mengapa?

1. Jamin deh .. setamat kuliah di luar negeri (terutama di negara-negara dengan bahasa pengantar Inggris), bahasa Inggris kita akan lancaaar. Juga akan lebih pede. Wong sehari-hari yo ngomong londo! Gimana gak lancar?

2. Pengalaman (TERPAKSA) baca buku lebih banyak bisa kita rasakan kalau kuliah di Bonn. Untuk matrikulasi dan supaya bisa mengikuti perkuliahan, kita dipaksa baca buku, jurnal, artikel, dll. dll. Di Semarang, bisa juga siih .. tapi .. kadang (TERPAKSA) tidak sebanyak di luar negeri.

3. Keren (1). Kan kuliah di luar negeri! Jebolan Universitas Prancis! Beda dikit dengan jebolan universitas something di Semarang!

4. Keren (2). Kan pernah tinggal di Paris. Juga jalan-jalan keliling Eropa pas liburan. Lihat Stadion Sepak Bola tempat Lionel Messi berlatih di Barcelona, Spanyol, sisa-sisa kejayaan Islam di Istambul, naik gondola di Venice, lihat jejak dimana buku Huckleberry Finn tulisan Mark Twain pertama kali diterbitkan di London, mengukur kecondongan Menara Pisa di Italy. Keren bukan? Kalau kuliah di Semarang, paling jauh jalan-jalannya ke Borobudur! Itupun plus dikejar-kejar penjual asongan yang menjajakan topi berlabel Borobudur!

5. Terbiasa kuliah S2 di negeri asing, barangkali akan memudahkan cari beasiswa buat S3. Dan kalau sudah dapat, kuliah S3 mungkin akan lebih mudah. Udah terbiasa belajar dengan cara-cara di luar negeri.

Ada yang mau nambahin?

Review, Preview, Tugas Kuliah

Sebulan berlalu. Perkuliahan sudah memasuki masa-masa 'banjir tugas.' Sudah ada 5. Yang paling banyak adalah tugas membuat review bab dari buku atau jurnal terkait materi perkuliahan.

Bagi sebagian mahasiswa, review tidaklah sulit. Tetapi bagi sebagian lainnya, termasuk aku, makna review sendiri masih hablur. Apalagi materi yang akan di-review, Bahasa Inggris lageee .. hehehe.

Karena gak juga paham, tentang apa yang sebenarnya yang dilakukan dalam me-review sebuah tulisan, sudah pernah aku tanyakan kepada 2 dosen, plus 1 teman kuliah (yang juga dosen).

Berikut adalah kesimpulanku dari beberapa jawaban yang mereka berikan:

1. Review bukan preview. Apa bedanya? Silahkan lihat sendiri di kamus .. hehehe

2. Review bukan menerjemahkan. Yo to yo, kalau terjemah kan sudah ada kata tersendiri: translation.

3. Review adalah semacam meringkas isi bab/artikel/buku. Misal tulisan asli 12 halaman, hasilnya menjadi 4 halaman. Yang diambil adalah substansi bahan bacaan. Tangkap substansinya, lalu uraikan dengan bahasa sendiri.

4. Beri komentar tentang isi. BIla perlu dengan kutipan ahli lain. Nah ini dia bagian yang tidak mudah. Menurutku, memberikan komentar mengenai isi sebuah tulisan, apalagi penulisnya adalah dewa dalam bidang tersebut, agak tidak mungkin. Tetapi beberapa teman yang sudah pengalaman dalam dunia per-komentar-an (barangkali mereka adalah komentator TV hehehe), komentar kritis akan muncul seiring dengan banyaknya bahan bacaan yang sudah pernah lewat di memory kita. Nah loh. Makanya ... banyak bacaa!

5. Komentar kritis nan akademis belum bisa, minimal pakai akal sehat saja. Asal komentarnya tidak sebatas: "Wah .. artikel ini bagus sekali", atau "Hmm .. Nampaknya pengarang pandai sekali!"

Terakhir, yang paling penting terkait dengan tugas-tugas kuliah: jangan menunda-nunda mengerjakan tugas kalau tidak mau tak jenak tidur. Alasan: (1) tugas lain akan segera bermunculan, (2) mengumpulkan tugas 'kurang berkualitas' masih lebih baik ketimbang tidak mengumpulkan sama sekali. :)

Kriteria Dosen Menyenangkan

Judul tulisan ini terinspirasi terjemahan ngawur sebuah frase dalam Bahasa Jawa, "Dosen nyenengke." Ungkapan yang sering dilontarkan mahasiswa menanggapi cara-cara dosen mereka mengajar. Alasan yang membuat menyenangkan dalam kata nyenengke sebenarnya multi tafsir. Bisa karena dosennya cantik atau ganteng, karena suka ngajak guyon, tidak suka 'marah-marah,' tidak pelit masalah nilai, bersikap menerima setiap pertanyaan apa saja - yang gak bermutu sekalipun, dan banyak hal lain. Sangat subyektif dan tergantung masing-masing mahasiswa to yo.

Ketika sedang melamun (pikiran entah dimana) dalam sebuah diskusi kelas, aku iseng membuat catatan berikut. Aku sebut kriteria dosen menyenangkan, tentunya menurutku.

1. Yang paham dengan apa yang diajarkan. Mungkin bukan tidak paham ya, tapi kadang dosen (sebagaimana halnya manusia biasa) datang ke kelas agak kurang siap, sehingga alur obrolan di kelas tidak jelas.

2. Yang menerangkan materi pelajaran dengan menggunakan contoh-contoh aktual yang diambilkan dari sekeliling kita. Misal: contoh dari berita koran terbitan hari ini, bukan tahun lalu, apalagi yang kurang menarik.

3. Presentasi materi menggunakan Bahasa Indonesia, lebih mudah dipahami. Catatan: terjemahan konsep harus bagus donk. (Ada loh terjemahan yang kurang bagus.)

4. Terkait No 1: Dosen yang membuat rencana mengajar. Beberapa dosen sangat memerlukan pedoman karena dapat membantunya membagi waktu mengajar. Misal: 2.5 jam: 10 menit pembukaan, bertanya tetek bengek absensi, kabar mahasiswa, dll. Kemudian 5 menit menjelaskan alur perkuliahan, apa saja yang akan dilakukan selama di kelas, dll. Lalu 1.5 jam untuk presentasi materi diselingi diskusi. Satu jam selanjutnya untuk presentasi mahasiswa (kalau ada) atau membahas tugas mahasiswa yang sudah dikumpul. Selanjutnya penutup, say good bye atau wassalam. Waktu 2.5 jam berlalu dengan bermanfaat. Catatan: Beberapa dosen sudah terbiasa dengan pola-pola mengajar terencana sehingga bisa menggunakan waktu secara efektif (seperti otomatis).

5. Apa lagi ya? Silahkan ditambahi sendiri. Ha ha ha.