Friday 8 October 2010

Renungan Untuk TVRI dan RRI

Ada beberapa peluang yang mestinya bisa dimanfaatkan lembaga penyiaran publik (LPI - TVRI dan RRI) dalam menjamin keberlangsungan hidupnya dalam jagat komunikasi negeri ini. Sebagai yang diberi mandat penyiaran pro-sosial, yang berpihak pada publik, kedua lembaga penyiaran ini mestinya bisa hidup terhormat tanpa perlu menyewakan halaman kantor mereka sebagai tempat bursa mobil bekas (fenomena di TVRI Yogyakarta dan Semarang) demi mendapatkan tambahan pendapatan.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan TVRI dan RRI berada dalam kondisi hidup segan mati tak hendak. Perlahan namun pasti, kedua lembaga penyiaran yang memiliki sejarah panjang sebagai pemersatu bangsa sejak zaman awal kemerdekaan dulu mulai ditinggalkan pemirsa dan pendengar. Saat ini persaingan media sangatlah ketat. Sekedar analogi, tanpa keterampilan dan energi yang cukup, seorang pemain sepakbola profesional lambat laun akan ditendang pelatihnya - tak dipakai lagi.

Dalam diskusi Kuliah Komunikasi Massa yang dibimbing Dr Turnomo Rahardjo kemarin malam (8 Oktober 2010), terungkap berbagai hal yang 'mestinya' bisa dimanfaatkan TVRI dan RRI untuk tetap eksis.

1. Undang-undang menyebutkan hanya TVRI dan RRI yang merupakan lembaga penyiaran publik. Yang lain adalah lembaga penyiaran komersil semacam RCTI, Metro TV, Radio Elshinta, Radio Trijaya dll. atau lembaga penyiaran komunitas (dengan jarak jangkauan maksimal 2 km.) Dengan peran ini, TVRI dan RRI semestinya bisa memfokuskan diri pada konten siaran yang pro-sosial atau berpihak pada kemajuan bangsa. Yang terjadi sekarang adalah kedua lembaga seakan berusaha bermain di wilayah komersil terlihat dari usahanya menarik iklan maupun meniru program.

2. Kaitannya dengan program, kalau mampu melihat peluang baik, maka TVRI dan RRI akan selalu mendapat tempat di hari permirsa dan pendengar. Ada beberapa program mereka yang sampai saat ini tidak mendapatkan 'saingan' seperti acara-acara yang mengekspos seni budaya anak bangsa semacam musik keroncong, sendratari, atau sandiwara. Dulu RRI punya program sandiwara radio yang berisi pesan-pesan pembangunan, bercerita tentang keindahan hidup dalam latar belakang agraris, mendorong motivasi rakyat untuk berkarya dan tak putus asa. Apakah acara-acara semacam itu masih ada?

3. Jaringan luas sampai ke ujung perbatasan hanya dimiliki TVRI dan RRI. Banyak dari kita yang mendapatkan kegembiraan bisa mendengarkan siaran berita nasional ketika sedang berada di suatu wilayah antah berantah di sudut terjauh Indonesia. Ketika siaran lokal tak mamu menjangkau, TVRI dan RRI terasa sangat dekat.

4. Juga tentang jaringan, kita tahu TVRI dan RRI memiliki kantor di daerah. Kita kenal ada TVRI lokal seperti TVRI Stasiun Yogyakarta atau Semarang. Lalu ada RRI di daerah, dikenal dengan RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah). Dalam dunia yang makin terhubung, memiliki jaringan adalah aset. Kapan aset itu bisa dimanfaatkan efektif oleh TVRI dan RRI?

Itulah sekelumit hal yang bisa dijadikan renungan bagi penyelenggara TVRI dan RRI supaya mereka tak hanya berguna untuk mencocokkan jam tangan atau pas menunggu bedug magrib penanda buka puasa. Sayang sekali kalau fungsi kedua lembaga besar tersebut hanya sebatas remeh temeh seperti itu.

Renungan pendek ini tidak bermaksud menghakimi TVRI dan RRI yang dari 'sononya' sudah memiliki nama besar. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penjelas mengapa kondisi kedua LPI belum membaik dalam beberapa windu belakangan ini.

1. Organisasi TVRI dan RRI adalah organisasi birokrasi raksasa dengan jumlah staf yang tidak sedikit. Diperlukan rasionalisasi besar-besaran untuk membuatnya menjadi organisasi langsing tapi berkualitas. Tetapi apakah pemerintah mampu mengadakan dana besar untuk melakukan PHK besar-besaran? Ini adalah pekerjaan rumah bagi semua.

2. Di era teknologi komunikasi sekarang, teknologi menyediakan peralatan siar yang tidak memerlukan banyak operator. Apakah TVRI dan RRI sudah berinvestasi cukup untuk menggantikan peralatan sial mereka yang sudah layak masuk museum? Ini juga pekerjaan rumah, menyangkut dana besar.

3. Bagaimana dengan sumberdaya manusia? Cukupkah tersedia personel siar, wartawan, staf dokumentasi dan perpustakaan, peneliti, editor, dll? Kapan terakhir mengirim wartawan untuk belajar? Studi banding?

Nah .. itu dulu uraiannya (maaf kurang lengkap, catatan kuliah ketinggalan entah dimana .. hehehe) .. Kalau ada yang nambahin, dipersilahkan ... supaya memperkaya pemahaman kita tentang TVRI dan RRI yang kita cintai bersama .. tenan loh .. aku cinta mereka, karena mereka jadul ... :) Udah bosen sama Ipod dan sinetron! Maunya kembali ke zaman dulu saja ... yang penuh nostalgia Mana Suka Siaran Niaga .. hahahaha ..

Bravo TVRI dan RRI!

No comments:

Post a Comment