Tuesday, 28 September 2010

Teori Hofstede tentang Barat dan Timur

Dari Wikipedia aku temukan penjelasan tentang Hopstede, sosiolog organisasi berkebangsaan Belanda yang banyak menelurkan karya mengenai interaksi antar budaya.

Gerard Hendrik Hofstede (born 3 October 1928, Haarlem) is an influential Dutch organizational sociologist, who studied the interactions between national cultures and organizational cultures. He is also an author of several books including Culture's Consequences[1] and Cultures and Organizations, Software of the Mind, co-authored with his son Gert Jan Hofstede.[2] Hofstede's study demonstrated that there are national and regional cultural groupings that affect the behaviour of societies and organizations, and that these are persistent across time.

Yang diobrolin tanggal 27 September lalu, di kelas Dr Turnomo Rahardjo, adalah perbedaan budaya Barat dan Timur menurut Hofstede. Barat diartikan sebagai Amerika dan Eropa, sementara Timur diartikan kita-kita ini, misal: mahasiswa dari Semarang. Berikut sekelumit hasil obrolan:

1. Barat lebih individualistic (lebih mengedepankan AKU ketimbang KITA yang digemari masyarakat Timur atau collectivism).

Dalam budaya Barat, seorang Rafael Nadal akan bilang, "Saya berhasil menjuarai Grand Slam karena saya kerja keras!"

Seorang Joko Suprianto (atlet bulutangkis - kalau ada yang gak kenal) bilang keberhasilannya adalah karena tim pelatih dan keluarga yang memberikan dukungan.

2. Low context merupakan ciri budaya Barat. Bicaranya lugas. Seseorang dalam budaya low context bisa bilang "Saya tidak setuju pendapat anda karena saya melihat kelemahannya." Di Indonesia, lebih high context dimana pendapat disampaikan agak muter-muter, tidak to the point.

Dalam budaya low context, diterapkan low uncertainty avoidance atau menghindarkan hal-hal yang tidak jelas. Misal, kalau bikin janji pertemuan, jamnya ditentukan jelas. "Rapat jam 9 pagi!" beda dengan "Oh ya, ntar ketemuan abis Magrib ya ..." Jam gak jelas ...

3. Barat lebih bersifat masculine (nature) sementara Timur lebih feminine (nurture) atau mengedepankan harmoni.

Memahami dikotomi Hofstede ini akan mengarahkan kita pada perlunya komunikasi antar budaya atau inter-cultural communication yang mempersyaratkan pemahaman dan apresiasi terhadap budaya lain. Kunci komunikasi adalah inter-cultural negotiations untuk mengurangi atau menghilangkan potensi konflik.


Karakteristik Komunikasi

Lalu ada istilah karakteristik komunikasi yang disampaikan oleh Dr Turnomo Rahardjo, juga pada kuliah tanggal 27 September.

1. People communicate for a variety of reason: manusia berkomunikasi dengan berbagai macam alasan, misal intelektual (contoh: diskusi kluiah di kelas), emosional (misal: mengungkapkan kejengkelan atas suatu ketidak-adilan), dan sosial (misal: memberi masukan solusi untuk menangani masalah air rob di Semarang).

2. Communication may have intentional and unintentional effects: apa yang kita katakan dan lakukan tidak selalu dimaknai orang lain seperti yang kita kehendaki. Setiap orang memiliki otonomi (free will) dalam memaknai suatu realitas. Moralitas dari hal tersebut: jangan pernah menyatakan diri paling benar karena kalau demikian akan menimbulkan polarized communication - akan akada pengkutuban komunikasi dimana kedua kutub bertentangan (konflik)

3. Communication involves the use of symbols: Lambang-lambang verbal dan non verbal secara lisan maupun tertulis merupakan alat utama dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan.

4. Communication involves at least two people, to varying degrees, influence to each other’s actions: Berkomunikasi dengan (lebih dari sekadar) kepada orang lain. Communicate With Others (setara); Communicate To Others (tidak setara). Esensi komunikasi adalah dialog: memberikan kesempatan kepada banyak suara atau pendapat.

5. Communication needs not be successful to have occurred: Komunikasi tidak mesti langsung berhasil, gak jadi soal berhasil atau tidak. Komunikasi adalah proses (misal perundingan GAM dengan Jakarta perlu berkali-kali untuk sampai pada kesepakatan)

Komunikasi adalah proses bertemunya orang yang memiliki perbedaan frame of reference dan field of experince guna menciptakan commonness.

6. Communication is dynamics: Semua elemen komunikasi berinteraksi dengan/dan mempengaruhi satu sama lain. Terjadi selama hayat dikandung badan. Saling berhubungan berhubungan satu sama lain.

7. Communication is unrepeatable and irreversible: Sekali komunikasi terjadi, tidak akan bisa diulangi (unrepeatable), misal: kita tak bisa mengulangi marah. Juga tidak dapat dirubah (irreversible), sekali kata-kata keluar, maka ia abadi. Komunikasi bersifat unik dan tidak pernah dapat terjadi secara tepat dalam cara yang sama.

8. Communication is affected by culture: Bagaimana kita mengkomunikasikan (merumuskan dan menginterpretasikan) pesan tergantung budaya (ras, etnisitas, gender, umur) dimana kia berada.

9. Communication is influenced by ethics: Selalu dipengaruhi oleh etika. Kita akan selalu menimbang apakah komunikasi ini atau itu sesuai tidak dengan etika atau prinsip-prinsip moral, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang dipakai sebagai pemandu perilaku. Komunikasi memiliki konsekuensi, sehingga melibatkan penilaian benar atau salah. Good or bad, right or wrong?

10. Communication is competence-based: Kompetensi atau kecakapan komunikasi merupakan hasil penilaian orang lain. Kompetensi menyangkut knowledge, attitude, dan skills.

11. Communication is being transformed by media and technology: Saat ini media dan teknologi merubah segala hal terkait dengan komunikasi. Kalau dulu perlu menunggu seminggu untuk sekedar berucap selamat tahun baru, sekarang dengan SMS, langsung sampai.

Begitulah kira-kira karakteristik komunikasi. Hmm .. agak berat nih .. sedikit perlu hafalan supaya bisa menjawab pertanyaan dosen pas ujian nanti. Hehehe.

Elemen Komunikasi

Ada tujuh elemen komunikasi yang dipaparkan dalam kuliah tanggal 27 September oleh Dr Turnono Rahardjo: people, message, channel, noise, context, feedback, effect. Berikut adalah pembahasan singkat masing-masing.

1. People
Komunikasi melibatkan orang: bisa antarpribadi, kelompok kecil, dan publik berlangsung antara dan diantara semua tipe sender dan receiver (bergantian merupakan individu-individu yang memberikan dan menerima pesan secara serempak).

2. Message
Bersifat verbal (menggunakan kata-kata) dan non-verbal. Yang bersifat non-verbal antara lain: proxemics (kedekatan), haptic (sentuhan), olfatics (aroma), chronemics (waktu), eye movement / oculestic (gerakan mata), hand and head movement (gerakan tangan dan kepala), metalanguage atau paralanguage (teriakan, desahan, dll),

3. Channel
Artinya: saluran yang kita gunakan dalam berkomunikasi. Misalnya semua indera kita. Manusia adalah Kita adalah multichannel communicators.

4. Noise
Merupakan distorsi yang berpotensi mengganggu efektifitas komunikasi. Misal aroma yang terlalu tajam, suara bising, ruangan yang panas, dll.

5. Context
Kita berkomunikasi selalu dalam konteks. Misalnya, kadang dalam konteks organisasi, lalu berubah menjadi konteks akrab / keluarga.

6. Feedback
Merupakan respon dari pihak lain terhadap pesan yang kita sampaikan. Feedback dapat dibedakan menjadi: immediate (langsung), delayed (tertunda), lalu positive atau negative.

7. Effect
Komunikasi berdampak atauberpengaruh terhadap orang lain. Dampaknya bisa macam-macam, misal: cognitive (pengetahuan), affective (sikap atau perilaku), conative (tindakan), atau campuran. Misal: dampak iklan larangan merokok masih sebatas kognitif, dan belum tindakan. Sadar bahaya merokok, tapi tetap saja merokok.

Picture Illiteracy

Banyak yang kaget ketika melihat langsung bintang film pujaannya ternyata tidak 'secantik' di layar televisi. Tak segagah yang dibayangkan. Komentar seperti "Kok kulitnya gelap?" atau "Kok beda ya dengan di TV?" sering kita dengar. Bahkan kita sendiri mungkin pernah berkomentar senada.

Hal-hal tersebut mungkin bagian kecil dari apa yang disebut dengan picture illiteracy, sebuah penjelasan tentang ketidakmampuan pemirsa televisi membedakan realitas layar kaca televisi dengan realitas yang sebenarnya.

Jenis 'buta huruf' yang satu ini perlu diwaspadai karena dampaknya dalam menghadirkan bayangan realitas tak sebenarnya di benak para pemirsa televisi.

Tapi .. tunggu dulu. Sebelum berlanjut, takutnya malah salah jalan, mending berhenti di sini dulu ...

Masalahnya, aku coba buka Google untuk cari bahan bacaan terkait dengan kata kunci picture illiteracy, kok gak dapet-dapet ya? Yang banyak visual literacy atau text literacy ...

Ada yang bisa kasi penjelasan? Lontooo...ng .. eh salah .... Tolooooo...ng!




Monday, 27 September 2010

Obrolan Rupa Rupa

Kuliah Teori dan Perspektif Komunikasi yang dibawakan Dr Turnomo Rahardjo semalam benar-benar kaya bahan. Aku menghabiskan 22 halaman buku catatan!

Dibagian awal, Dr Turnomo menjelaskan perbedaan antara two-way traffic communication dengan two-step flow communication. Yang pertama adalah komunikasi yang bersifat dua arah, sedangkan yang kedua adalah salah satu teori dalam komunikasi massa.

Uraian tentang two-step flow communication cukup menarik karena menjelaskan bagaimana ide yang dimiliki suatu media massa disampaikan kepada khalayak (followers) dengan menggunakan opinion leaders (nara-sumber)

media massa -------> opinion leader ------> followers
----------------step 1--------------------step 2-----------

Lalu obrolan berlanjut dengan communication network analysis sebagai alat untuk menemukan opinion leader yang sebenarnya. Dalam alat analisa tersebut, diajukan 2 pertanyaan dasar:

1. Kepada siapa responden bertanya bila memerlukan informasi tertentu? Sebutkan 2 sumber.
2. Sumber mana yang paling berpengaruh pada responden?

Dengan dua pertanyaan tersebut maka kita akan bisa menentukan apakah opinion leader berfungsi sebagai source of information ataukah source of influence.

Opinion leader dibedakan menjadi dua:
- monomorphysm (ahli dalam satu bidang saja)
- polymorphysm (ahli dalam lebih dari satu bidang)

Pemahaman tentang hal tersebut digunakan oleh Dr Turnomo untuk menjelaskan kualitas wartawan di negara ini.

"Idealnya, seorang wartawan adalah spesialis (monomorfik) sehingga kualitas pemberitaannya bagus. Cuma sayang, ada banyak hal yang menyebabkan rendahnya kualitas wartawan kita saat ini. Salah satunya karena gaji yang tidak memadai, kecuali di Kompas dimana seorang wartawan bisa bergaji 14 kali dalam setahun!"

Eits .. ini baru pembukaan... Isi kuliah sebenarnya ada di posting selanjutnya.

Thursday, 23 September 2010

Garda Mikom UNDIP

Kalau siang, Pak Rosyid berpakaian seragam celana panjang warna biru dan atasan putih, lengkap dengan atribut SATPAM Pasca Sarjana UNDIP, Kampus Peleburan. Malam? Pak Rosyid lebih sering pakai atasan batik dibungkus jaket hitam. Bersama Pak Priyo, dia menjadi garda depan perkuliahan malam Program Mikom.

"Yang siapkan kopi dan snack ada sendiri kok, orang catering," begitu Pak Rosyid menjelaskan keberadaan 4 termos minumam hangat (2 berlabel coffeemix dan 2 teh) yang disediakan di depan ruang perkuliahan lantai dua saban malam, untuk dosen dan mahasiswa.

"Di tempat lain kayaknya gak pakai snack," imbuh lelaki berkulit gelap dan muka yang selalu nampak tersenyum.

"Snacknya selalu ganti, enak-enak lagi," kata Deka, mahasiswa Mikom angkatan III asal Jakarta.

Sepengetahuanku, di salah satu program pasca sarjana lain, juga di UNDIP, bahkan untuk fotocopy bahan kuliah, mahasiswa harus urunan. Istriku, juga sedang ambil kuliah magister, beberapa kali bawa snack sendiri.

"Buat rame-rame di kelas," katanya.

Apakah ada hubungan antara ketersediaan snack plus minumam gratis dengan kebahagiaan mahasiswa yang kemudian berujung kesuksesan kuliah di Mikom? Diperlukan penelitian untuk menjawabnya. He he he. Serius amat! Tapi bukankah dalam penelitian-penelitian psikologi pendidikan, kemudahan belajar memiliki hubungan positif dengan kesuksesan dalam belajar? Hmm ...

Mengenai bahan kuliah (slide dan file elektronik lainnya), mahasiswa tidak perlu menunggu, apalagi sampai minta-minta. Pak Priyo, garda Mikom berambut keperakan, sigap mengirimkan semuanya via email, kurang 24 jam sejak kuliah berakhir. Kalau semalam kuliah jam 19.30, maka bisa dipastikan, antara jam 14.00 atau 17.00 hari ini, semua bahan sudah masuk inbox kita. Asyik bukan? Tak perlu copy sendiri dari laptop yang dipakai presentasi. Selain merepotkan juga makan waktu!

Mengenai laptop presentasi, nampaknya bukan zaman lagi harus pakai laptop pribadi. Di kelasku, selain LCD projector, sebuah laptop warna hitam sudah nangkring di meja dosen sesaat sebelum pelajaran dimulai. Dosen dan mahasiswa tidak perlu usung-usung laptop dari rumah. Cukup bawa USB memory, presentasi siap dilakukan.

Mau fotokopi buku? Sehabis kuliah, cukup serahkan judul buku kepada Pak Rosyid dan Pak Priyo. Setebal apapun pesanan akan siap keesokan harinya. Cukup bawa duit pengganti fotokopi, tak perlu uang tambahan. Pak Rosyid dan Pak Priyo sudah cukup senang mendapatkan limpahan pahala karena membantu menciptakan kemudahan bagi mahasiswa.

Lupa bawa dasi untuk kuliah? Eits .. jangan salah .. di Mikom gak ada istilah pakai dasi. Bikin ribet dan gerah saja! Hahahaha... Dosen sendiri sudah 'menolak' dasi sejak Mikom berdiri, begitu cerita Pak Sunarto, Ketua Program Mikom, menjelaskan dalam kuliah umum awal September lalu.

Snack dan mimum hangat gratis. Fotocopi bab buku, kadang-kadang gratis. Slide dan bahan kuliah lain dalam bentuk elektronik, otomatis masuk inbox email. Buku perpustakaan sampai 400 judul (lebih banyak terbitan anyar!), fotocopi buku yang sangat 'dimudahkan', laptop untuk presentasi, tak perlu pakai dasi, santai saja ... semuanya adalah berbagai bentuk kemudahan, kemudahan yang semoga saja dapat menjadi garda kesuksesan kuliah di Mikom. :)

Komunikasi Strategis untuk Organisasi

Mata kuliah ini benar-benar merupakan inti dari semua perkuliahan di Program Mikom karena tujuannya menyiapkan mahasiswa mampu memimpin dan merencanakan aktifitas komunikasi suatu organisasi. Sebuah tujuan pragmatis yang berangkat dari pemahaman (beberapa tahunterakhir ini) tentang esensi kebutuhan komunikasi suatu organisasi yang lebih dari sekedar manajemen komunikasi.

Dalam kuliah perdana tanggal 22 September lalu,kami 'ngobrol' tentang kasus kebocoran minyak BP (British Petroleoum) yang terjadi di lepas pantai Teluk Mexico. Menurut dosen kami, Pak Joko Setiabudi, kasus ini merupakan kasus Public Relations / Humas tahun 2010.

Dalam 'peta masalah' yang digambarkan di depan kelas, terlihat berbagai isu yang terkait dengan kasus ini dimulai dari isu teknis (kebocoran pipa pengeboran), lalu dampak terhadap masyarakat sekitar lokasi pengeboran (terutama nelayan) dan aktifitas organisasi non-pemerintah yang melakukan protes dan advokasi, lalu bagaimana kasus tersebut 'disambar' media, kemudian isunya melebar ke lantai bursa (Wall Street) menyebabkan turun naiknya harga saham BP, keterlibatan politik (Presiden Obama berenang di Teluk Meksiko), kesigapan tim komunikasi BP mengelola masalah melalui koordinasi kantor pusat dan di tiap-tiap negara dimana kantor perwakilan BP ada, perlunya BP menyewa jasa konsultan komunikasi untuk menangani krisis, dst. dst.

Mirip dengan kasus BP, kasus lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo juga dapat dikatakan sebagai kasus PR. Hanya saja yang satu ini kurang tertangani dengan baik, disamping kompleksitas kasus terkait campur aduk antara bisnis, politik, dan berbagai isu lain sehingga sampai sekarang masih belum dapat terselesaikan dengan baik.

Dari kuliah malam itu, ada beberapa hal yang sempat aku catat:

1. Melakukan studi komparasi kegiatan komunikasi beberapa lembaga non-pemerintah (bisa lembaga penelitian, lembaga pendampingan, dll.)
2. Peluang untuk mendirikan jasa konsultasi komunikasi untuk menangani krisis komunikasi organisasi.
3. Studi kondisi humas di lembaga pemerintah ditinjau dari teori komunikasi tertentu
4. Survey bagaimana suatu proyek non-pemerintah merencanakan strategi komunikasi proyeknya (sejauh mana mereka memahami perlunya strategi komunikasi, komitmen budget, implementasi di lapangan, dan isu-isu terkait lainnnya).

Komunikasi Massa dan Berbagai Isu Menarik

Pelajaran ketiga dalam program kami adalah Perspektif dan Teori Komunikasi Massa. Tim dosen dipimpin Dr. Turnomo Rahardjo. Pada pertemuan 2 malam lalu, banyak sekali informasi baru yang aku dapatkan mengenai teori komunikasi yang daat dipakai meninjau aktifitas komunikasi massa.

Beberapa diantaranya sbb:
  • Tradisi Semiotika: Jean Baudrillard and the Semiotics of Media.
  • Tradisi Sibernetika: Public Opinion and the Spiral of Silence.
  • Tradisi Sosiopsikologi: The Effects Tradition; Uses, Gratifications, and Dependency; Cultivation Analysis.
  • Tradisi Sosiokultural: Medium Theory; The Agenda-Setting Function; Social Action Media Studies.
  • Tradisi Kritikal: Branches of Critical Media Theory.
  • Classical Marxism.
  • Political-Economic Media Theory.
  • The Frankfurt School.
  • The Hegemonic Theory.
  • The Sociocultural Approach.
Apa dan bagaimana penjelasan masing-masing teori belum dapat aku sampaikan di sini berhubung keterbatasan pemahaman. Aku berharap seiring perjalanan perkuliahan, pemahamanku akan bertambah. Amiiin.

Tentang komunikasi massa itu sendiri, dapat diartikan sebagai suatu proses dimana organisasi-organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan-pesan kepada publik, proses dimana pesan-pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak.

Definisi tersebut sesuai dengan kajian utama dari komunikasi massa yaitu media.

Media sendiri dibedakan menjadi 4 jenis:
  1. Media komersil (televisi dan radio swasta)
  2. Media publik (TVRI dan RRI)
  3. Media berlangganan (seperti Indovision, Telkomvision)
  4. Media komunitas (jarak jangkauan siar maksimal 2 km, misal radio kampus)
Untuk buku pegangan perkuliahan, Dr Turnomo menyarankan mahasiswa memiliki McQuail's Mass Communication Theory (Edisi ke-6) buah karya Denis McQuail yang diterbitkan Sage Publications (2010). Copy yuuks! hehehe.

Ada beberapa hal menarik yang sempat aku catat dari kuliah 2.5 jam tanggal 22 September tersebut, beberapa hal yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan komunikasi massa, tetapi mungkin dapat jadi bahan renungan:
  1. Secara konseptual, media adalah ruang publik yang dapat dipakai sebagai wahana untuk dialog antar komponen bangsa yang setara (kenyataan di negeri ini berkata lain).
  2. Televisi atau radio beroperasi menggunakan gelombang elektromagnetik yang merupakan ruang publik, sehingga selayaknya mereka tidak semena-mena dalam menggunakan gelombang. (Apa arti semena-mena? perlu tambahan penjelasan ...)
  3. Media penyiaran tidak boleh bersifat partisan (dalam kenyatannya ternyata beda).
  4. Ada keharusan sesuai undang-undang bahwa media tidak boleh melakukan penyiaran secara nasional (nationwide), tetapi harus berjaringan. Bagi media besar, ini berarti ancaman kue iklan harus dibagi-bagi dengan daerah, bukan sesuatu yang membuat mereka senang.

Beberapa kenyataan berikut mungkin dapat pula jadi bahan pemikiran:
  1. Mengapa para terdakwa koruptor muncul berbaju koko dan berpeci hitam ketika maju ke ruang sidang pengadilan?
  2. Mengapa ada artis perempuan yang diisukan berkelakuan kurang pantas tampil berkerudung saat jumpa pers?
  3. Mengapa lembaga penyiaran publik mati suri? Selain dana operasi yang kurang, juga terkait masalah sumberdaya yang a) terlalu banyak namun kurang kualitas - peninggalan Departemen Penerangan dulu, sementara melakukan rasionalisasi pegawai perlu dana yang tidak sedikit; 2) peralatan siar yang sudah tak layak guna: bandingkan dengan peralatan digital sekarang yang cukup dioperasikan beberapa orang saja, c) atau (ini dari teman kuliah - Lusi) karena beban mandat yang terlalu berat sebagai 'pemersatu bangsa' atau 'penjaga bahasa nasional'?
  4. Fenomena di Yogyakarta dan Semarang dimana halaman kantor TVRI dijadikan sebagai ajang bursa mobil bekas.
  5. Ada informasi bahwa gaji seorang penyiar radio di Semarang (pernah kuliah Komunikasi di UNDIP) hanya Rp. 20.000 sekali tampil, lalu wartawan (juga pernah belajar di UNDIP hanya sekitar Rp. 900.000, kurang dari Upah Minimum Kabupaten!)
  6. Isu jurnalisme kloning - karena keterbatasan sumberdaya, biaya, dan waktu, satu berita yang sama (hanya dengan copy-paste) muncul di beberapa media
Renungan terakhir:
Dalam teori, terdapat 3 pilar demokrasi: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Media ditengarai sebagai pilar ke-4. Tapi bila pilar ke-4 ini belum layak dijadikan pilar (karena digerogoti berbagai masalah seperti halnya di Indonesia), siapa yang bisa diharapkan memperkuatnya? Jawaban: kelas menengah. Tetapi belakangan ada pula yang bilang kelas menengah Indonesia sudah hilang .. nah .. lalu siapa yang bisa menjadi pendukung, penyokong, atau bahkan berperan sebagai pilar ke-4? Walloohua'lam .. hehehe.

Wednesday, 22 September 2010

Competing Paradigms in Qualitative Research

Itulah judul Bab 6 buku karya Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln berjudul The Handbook of Qualitative Research - Edisi 9 (. Bab yang menjadi tugas review para mahasiswa di minggu pertama perkuliahan.


Pada bagian awal, penulis mengatakan bahwa dalam bab ini yang menjadi fokus diskusi adalah empat paradigma dalam penelitian kualitatif yaitu: positivism, postpositivism, critical theory, dan constructivism.

Apa yang dibahas di dalam bab ini adalah berbagai asumsi dari masing-masing paradigma tersebut berikut implikasinya dalam banyak hal mengenai penelitian.

Perlu digarisbawahi di awal, bahwa yang dimaksud kedua penulis dengan istilah paradigma adalah "the basic belief system or worldwide view that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways."

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, definisi itu kira-kira sbb: sistem pemikiran dasar yang mengarahkan peneliti tidak hanya dalam pemilihan metode penelitian tetapi juga dalam berbagai hal mendasar yang bersifat ontologis dan epistemologis ..

Ah .. susah juga ya nerjemahin .. Ntar dilanjut dan dikoreksi lagi .. mo ada kerjaan dari Bos nich ...






Tuesday, 21 September 2010

Paradigma Penelitian Komunikasi

Dalam kulaih Metode Penelitian Komunikasi, dosen kami malam ini, Dr Sunarto, juga membahas paradigma penelitian yang dikemukakan oleh Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln: positivism, postpositivism, critical theory, dan productivism.

Selain kedua ahli di atas, sebenarnya ada lebih banyak lagi ahli yang memperkenalkan beragam paradigma lain. Untuk kelas ini, Mikom Angkatan III (2010), sebagai perkenalan - demikian Dr Sunarto, pendapat Guba dan Lincoln diberi porsi pembahasan lebih banyak. Bahkan, Bab 6 buku tulisan kedua ahli ini harus kami pelajari dan buat previewnya sebagai tugas kuliah.

Ngumpulnya boleh kapan saja .. asal tetap ngumpul .. :)

Sebenarnya mungkin yang lebih ditekankan dosen adalah agar kami benar-benar membaca bab berjumlah 13 halaman ini, dengan tulisan kecil-kecil. hehehe.

Perlu diketahui, pelajaran Metode Penelitian Komunikasi ini nantinya akan ditutup dengan sebuah tugas akhir pembuatan proposal penelitian yang disarankan dibangun dalam paradigma positivisme, sengaja supaya setiap peserta perkuliahan mendapatkan pengalaman menerapkan pendekatan quantitative berparadigma positivisme dalam mengkaji suatu permasalahan komunikasi. Bahan-bahan yang dapat dijadikan materi penelitian termasuk masalah citra, branding, komunikasi marketing, dan lain sebagainya.

Tetapi untuk tugas thesis, kami dibebaskan menggunakan paradigma berfikir mana saja. Cuma disarankan agar tidak terjebak pada pemilihan topik ataupun pendekatan yang 'menyulitkan' misalnya kesusahan dalam mencari narasumber penelitian terutama bila waktu sudah mepet, harus segera menyelesaikan studi .. hehehe ...

Ini bener juga ya ... Kita memang harus berfikir pragmatis, sambil hitung duit yang tersedia buat SPP catur wulan depan, walaupun ini tidak berarti mengorbankan kualitas penelitian.

Dua Buku Penting Komunikasi

Perkenalan pertamaku dengan buku komunikasi adalah di perpustakaan Mikom (Magister Ilmu Komunikasi) - UNDIP. Seusai kuliah umum tanggal 2 September lalu, aku sempatkan mampir ke perpustakaan kecil milik jurusan yang terletak satu ruangan dengan sekretariat Mikom di kawasan boulevard kampus Imam Barjo, di Jalan Pahlawan, Semarang.

Aku terkagum-kagum dengan koleksi yang ada. Walau hanya memiliki dua rak, perpustakaan sempit ini (betul-betul sempit dalam arti sebenarnya) menyimpan harta karun luar biasa. Berbagai buku terbaru komunikasi terbitan luar negeri ada di sini, digolongkan dalam (sekurangnya) kelompok teori, penelitian, dan media.

Wow .. aku terpana.

Beruntung aku diberi kesempatan pinjam langsung walau belum benar-benar resmi jadi mahasiswa (kartu mahasiswa belum ada!) :)

Setelah pilih-pilih beberapa saat, aku putuskan pinjam buku berikut:

1. Introducing Communication Theory - Analysis and Application karya Richard West dan Lynn H. Turner (Mc Graw Hill - 2008)

2. The Basics of Communication Research oleh Leslie A Baxter dan Earl Babbie (Thomson Wadsworth - 2004)

Buku pertama berisi pengetahuan dasar tentang komunikasi, definisi, sejarah, dan terutama teori-teori komunikasi yang ada sampai saat ini, sementara buku kedua berisi penjelasan tentang dasar-dasar riset dalam komunikasi, etika riset, pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dan masih banyak lagi. Maaf gak bisa jelasin lebih banyak lagi karena baru baca beberapa halaman awal saja. Bukunya tebal-tebal, masing-masing sekitar 500 halaman .. :)

But I believe, those new in the world of communication theory and research should definitely own these two books! Aku sendiri udah copy .. hehehe ... Hidup photocopy! Merdekaaaa!

Sunday, 19 September 2010

Definisi Komunikasi

Tentang definisi komunikasi, apa yang dikemukakan Katherine Miller dan Sarah Trenholm dalam buku Richard West dan Lynn H. Turner berjudul Introducing Communication Theory - Analysis and Application (McGraw Hill: 2007) cukup memberi penjelasan.

Katherine Miller mengatakan: 'conceptualizations of communication have been abundant and have changed substantially over the years." Konsep komunikasi sudah banyak sekali, berubah-ubah setiap waktu, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Lalu Sarah Trenholm menyebutkan, "although the study of communication has been around centuries, it does not mean communication is well understood". Trenholm menyimpulkan mendefinisikan komunikasi merupakan dilema tersendiri.

Dari penjelasan dosen kami semalam (Dr Turnomo Rahardjo), saya memetik catatan bahwa terdapat banyak sekali definisi komunikasi. Masing-masing tergantung filsafat berfikir yang dianut, tataran komunikasi dimana komunikasi terjadi, siapa yang terlibat, tujuan, bahkan kepentingan yang melambari.

Tidak mungkin menemukan satu definisi yang berlaku umum.

Tetapi saya melihat, definisi yang dikemukakan Richard West dan Lynn Turner lumayan umum juga: communication is a social process in which individulas employ symbols to establish and interpret meaning in their environment.

Definisi di atas menjelaskan bahwa komunikasi merupakan proses sosial dimana individu yang terlibat memanfaatkan simbol (verbal maupun non verbal) untuk menciptakan dan mengartikan makna.

Ngobrol adalah contoh komunikasi. Diskusi dalam kelas juga. Pidato di depan umum, televisi, bertengkar, berkelakar, radio, tersenyum, melambai tangan, dll, adalah hal-hal yang bisa dijelaskan sebagai contoh maupun media komunikasi.

Saturday, 18 September 2010

Kuliah Lagi, Semangat Baru

Kuliah lagi! Itulah yang akan segera aku lakoni mulai Senin, 20 September 2010 ini. Kali ini di Program Magister Komunikasi, Universitas Diponegoro, Semarang. Kali sebelumnya, di Program Kependudukan UGM, tapi sampai sekarang gak rampung-rampung karena thesisnya gak aku kerjakan ... ha ha ha ... dasar pemalas! Semoga yang di UNDIP ini berjalan lancar-lancar saja.

Ide kuliah bermula dari obrolan iseng dengan istriku, Naning, pada minggu pertama kami pindah domisili ke Semarang, Juli lalu. Sebelumnya kami tinggal di Depok, selatan Jakarta. Dengan kemudahan aksesibilitas di Semarang, ide bersekolah tiba-tiba saja terlihat sangat memungkinkan. UNDIP lama (Kampus Pleburan di jalam Imam Barjo - Simpang Lima) hanya sekitar 30 menit dari tempat tinggal kami di Banyumanik. Keluar dari rumah 5 menit sudah masuk pintu tol Tembalang. Lima menit kemudian, sudah keluar di pintu tol Gayamsari. Mengarungi jalan Ahmad Yani menuju Simpang Lima perlu waktu antara 10-15 menit. Paling lama 20 menit. Total 30 menit dari rumah ke kampus. Dari sisi waktu tempuh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalau misalnya dari rumah kami di Depok ke Kampus Universitas Indonesia Depok, harus berjibaku dengan kemacetan di Jl. Sawangan dan Jl. Margonda Raya, kalau tidak tahu jalan belakang lewat Tanah Baru.

Dari sisi waktu, tawaran program Magister ini juga sangat menarik. Kuliah malam jam 7 sampai 10 malam, Senin sampai Kamis. Dengan sistem catur wulan dan jumlah 'libur' yang tidak banyak, kuliah teori diharapkan selesai dalam 3 catur wulan (1 tahun) dan catur wulan berikutnya untuk penelitian thesis. Kalau lancar, dalam 16 bulan sudah bisa wisuda. Sepuluh tahun lalu, kami sekeluarga pindah dari Yogyakarta ke Jakarta. Rasanya baru 'kemarin' saja. Bagaimana kalau 16 bulan? Aku berharap - gak akan terasa!

Biaya kuliah, Syukur Alhamdulillah, saat ini masih terjangkau. Pendaftaran Rp. 300 ribu untuk ikut tes potensi akademik dan Bahasa Inggris. Setelah dinyatakan lulus, biaya per catur wulan adalah Rp. 7.8 juta. Kalau semua lancar dan cukup 5 catur wulan saja, total uang kuliah sekitar Rp. 31 juta lebih dikit. Kalau duit segitu dipakai modal beli angkot, kayaknya gak cukup deh ... hahaha.

Begitulah cerita awal tentang kuliah ini. Oh ya, di UNDIP ini aku mengambil Jurusan Komunikasi Strategis. Dari namanya, aku menduga pelajaran yang akan aku peroleh akan relevan dengan apa yang saat ini aku tekuni sebagai staf komunikasi di sebuah proyek penelitian agroforestri yang berkantor di Bogor.

Ini juga cerita awal tentang blog ini, yang aku rencanakan berfungsi selayak buku tulis berisi catatan kuliah, tentang buku atau paper yang aku baca, juga diskusi-diskusi yang aku ikuti, semua di seputar isu-isu komunikasi. Harapannya, aku bisa 'belajar' dalam arti membaca ulang, menuliskan kembali, juga membaca komentar dan pendapat pengunjung blog, dst. dst.