Saturday, 4 December 2010

UAS Catur Wulan 1

Tak terasa, minggu Ujian Akhir Semester atau yang disingkat UAS akan segera menjelang. Jadwal sudah keluar. Minggu depan, tanggal 6-10 Desember 2010.

Dua belas minggu perkuliahan benar-benar tak terasa. Sekurangnya bagiku. Tak terasa dalam arti cepatnya berlalu, atau mungkin aku yang tidak bisa merasakan sesuatu dikarenakan kurang rajin baca buku, mengerjakan tugas kuliah maupun tengah semester tak terlalu serius. Semoga bukan yang terakhir.

Tetapi yang jelas, UAS tidak bisa dihindari lagi .. maksudnya dijadwal ulang supaya ada waktu lebih banyak buat persiapan .. hehehe. Hari pertama tanggal 6 berisi Perspektif dan Teori Komunikasi. Menurut informasi pengelola, ujian akan dilakukan dengan sistem open book. Sudah kebayang nih mau bawa tas besar buat angkut semua buku ke kelas.

Untuk mata kuliah Metodologi Penelitian, kita diminta kumpulkan draft akhir proposal penelitian kuantitatif yang sudah dibahas dalam serangkaian presentasi beberapa minggu terakhir ini. Aku belom selesai revisinya :)) Bikin masalah saja, karena harus siap-siap dengan UTS yang lain. Syukurnya, untuk 2 mata kuliah yang lain (Komunikasi Massa dan Komunikasi Strategis), ada kabar sistemnya take home. Hmm .... kalau benar, lumayan .... jadi ada waktu untuk kerjakannya.

Monday, 22 November 2010

Diskusi Kelas, Semua Melek

Teknik mengajar Pak Adi malam ini cukup ampuh membuat mata melek dan otak berputar. Tentunya plus kening berkerut. Sejak kelas dimulai pukul 19.10, Pak Agus melemparkan pertanyaan kepada 10 peserta kelas.

Keterangan: Pak Yama gak masuk karena masih di Garut, urus anaknya yang lagi sakit, sementara Feby mungkin sedang ada kesibukan kantor.

Umami dan aku diminta membacakan potongan teks yang diambil dari buku Djalaludin Rachmat (Psikologi Komunikasi) tentang cerita kereta api menabrak mobil, lalu dokter bedah yang menolak melakukan operasi. Dan seperti yang diduga penulis buku, hampir semua yang di kelas mengatakan ada keanehan dalam alur cerita, keanehan yang timbul karena kami 'menyangka' sang dokter bedah berjenis-kelamin laki-laki.

Dua jam selanjutnya diisi dengan ngobrol tanya jawab berbagai kasus sebagai ilustrasi memperjelas beberapa teori komunikasi malam itu,Teknik belajar mengajar seperti itu ternyata sukses bikin semua peserta berbicara dan urun saran. Asyik juga mendengar berbagai pendapat berbeda dari berbagai perspektif tentang suatu masalah. Kadang ada juga ide-ide lain daripada yang lain, yang tak pernah terbetik dipikiran kita. Itulah mungkin manfaat diskusi / belajar bersama.

Thursday, 11 November 2010

PR Process Theory

Kuliah semalam, 11 November, bersama Pak Agus Naryoso, betul-betul bikin tambah ilmu. Obrolan kelas seputar public relations (PR) berfokus pada bagaimana suatu kegiatan PR dilakukan.

PR Process Theory menjelaskan ada empat langkah:

1. Fact Finding: mengumpulkan data primer dan/atau sekunder tentang permasalahan komunikasi yang dihadapi atau harus dibereskan.

2. Planning dan Programming: untuk menentukan strategi dan taktik (alat-alat PR yang akan dipakai seperti pameran, CSR, beasiswa, atau apa saja.)

3. Action: Pelaksanaan apa yang sudah direncakanan (dalam teori ini, monitoring tidak termasuk. Tetapi bisa dilakukan dalam tahapan ini untuk mengontrol apakah target sudah dicapai atau belum)

4. Evaluation: mengukur apakah tujuan sudah tercapai, dengan menganalisa empat komponen berikut: media relations, employee, community relations, dan stakeholders.

Khusus untuk evaluasi, obrolan cukup panjang karena komponen ini merupakan alat untuk mengetahui keberhasilan dari kegiatan PR yang kita lakukan sekaligus alat untuk bernegosiasi dengan manajemen (organisasi kita) terkait penggunaan dana (untuk kegiatan PR) dan dampak yang dihasilkan.

Pak Agus bercerita tentang media relations sebagai cara untuk menjalin hubungan dekat dengan pihak media. Keterdekatan hubungan memungkinkan tugas-tugas PR dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Adapun yang bisa dilakukan dalam hal media relations adalah:
- media gathering: mengundang wartawan beramah-tamah dengan pimpinan organisasi
- media visit: berkunjung ke redaksi media untuk mengenalkan produk atau organisasi
- media tour: mengundang media untuk melihat dari dekat aktifitas organisasi
- press conference: mengundang wartawan dalam peluncuran produk atau berita
- media kits: menyediakan informasi dasar mengenai organisasi dan produknya

Keberhasilan media relations dapat diukur dengan cara kuantitatif maupun kualitatif.
Yang termasuk kuantitatif: menghitung frekuensi pemuatan berita serta durasi (kedalaman) berita. Sedangkan yang kualitatif bisa diketahui dengan analisa isi media. Indikator keberhasilan kualitatif adalah:
- berita tidak provokatif
- diangkat dari fakta
- menampilkan nara sumber
- cover both sides

Evaluasi PR terkait employee, community relations serta shareholders juga dapat dilihat dari sisi kuantitatif maupun kualitatif.

Bila hasil akhir evaluasi masih menunjukkan hal-hal yang perlu ditangani lebih lanjut atau ternyata kegiatan PR tidak berdampak apa, apa, maka PR harus memulai process theory sejak tahapan Fact Finding. Begitu seterusnya.

Nah itulah sekelumit tentang PR process theory. Ada yang mau menambahkan? Silahkan di kolom komentar. Thanks ..

Tuesday, 19 October 2010

Ujian Tengah Semester

Untuk pelajaran Metodologi Penelitian, tidak ada ujian. Sebagai gantinya, kami diminta oleh Pak Djoko untuk membuat satu proposal penelitian kuantitatif. Dateline: 3 minggu dari sekarang atau sekitar tanggal 10 November.

"Kalau bisa, yang diangkat dalam proposal merupakan masalah yang nantinya akan diteliti untuk jadi thesis," kata Pak Djoko.

Sebenarnya, cara ini merupakan peluang bagi para mahasiswa segera memulia berfikir tentang tugas akhir. Para dosen siap membantu, walau secara informal lewat berbagai saluran komunikasi semisal email atau bertemu langsung di kampus. Teman-teman kuliah juga masih lengkap. Dapat jadi tempat curhat atau diskusi segala rupa. Kalau diandaikan menabung, draft proposal untuk pengganti ujan tengah semester ini merupakan langkah kecil yang sangat berarti ketika nantinya masa pembimbingan thesis sudah dimulai.

Berikut adalah sistematika proposal yang diharapkan:
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Signifikansi Penelitian
5. Kerangka Teoritis
6. Definisi Teoritis dan Konseptual
7. Metode Peneltian
8. Daftar Pustaka

Pak Djoko menyarankan untuk memulai dari bagian #2 yaitu Rumusan Masalah dimana (a) fakta nyata yang bertolak belakang dengan yang ideal (masalah) dijabarkan, diikuti dengan uraian tentang (b) gap/kesenjangan, yang kemudian diformulasikan menjadi (c) pertanyaan penelitian.

"Cukup tiga paragraf," tegas Pak Djoko menekankan pentingnya memulai dari bagian ini karena bagian tentang Latar Belakang bisa menyusul.

Pak Djoko menjelaskan bahwa para mahasiswa biasanya menemukan kesulitan pada bagian Latar Belakang ketika akan menjelaskan bukti-bukti empiris terkait permasalahan yang diangkat.

"Jangan sampai yang dianggap masalah hanya di khayalan semata, bukan berangkat dari kenyataan empiris di lapangan. Biasanya juga, mahasiswa berhenti lama di bagian ini karena kekurangan bukti-bukti empiris yang dapat dicantumkan dalam thesis."

Sebagai panduan, masalah yang diangkat sebagai bahan penelitian haruslah merupakan masalah dalam bidang komunikasi, benar-benar terjadi di lapangan, serta bisa ditunjukkan buktinya (laporan media, statemen yang punya otoritas, laporan tahuna perusahaan, dll.)

Monday, 11 October 2010

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ulasan singkat tentang teori di posting sebelumnya, terasa tak lengkap tanpa membicarakan tiga kajian filsafat yang merupakan jabaran elemen pertama teori (asumsi-asumsi filsafat) yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi (mempelajari sifat realitas) merupakan kajian filsafat yang membahas keberadaan sesuatu (eksistensi). Yang menjadi obyeknya adalah being: the nature of reality. Dalam pemahaman kualitatif, realitas bersifat jamak (in here), sementara dalam pemaknaan kuantitatif, realitas adalah tunggal (in there).

Epistemologi (mempelajari bagaimana pengetahuan diperoleh) merupakan kajian filsafat yang membahas hubungan antara the knower (peneliti) dengan the known (apa yang diteliti). Relasi tersebut berbeda-beda. Dalam pemahaman kuantitatif, hubungan tersebut berjarak supaya peneliti mampu mendapatkan kebenaran yang obyektif, sementara dalam pemahaman kualitatif, antara peneliti dengan yang diteliti tidak berjarak. Peneliti menjalin hubungan dengan realitas yang diteliti.

Aksiologi adalah kajian tentang nilai (value). Pertanyaand alam kajian aksiologi adalah apakah suatu pengetahuan bersifat bebas nilai? Ataukah bebas atau sarat dengan nilai? Dalam kerangka pemikiran kualitatif, pengetahuan sarat dengan nilai. Sebaliknya, dalam pemikiran kuantitatif, pengetahuan bebas dari nilai.

Wow .. sampai saat ini ... aku belum paham apa yang aku tulis ...

Catatan: menuliskan kembali apa yang kita 'anggap' kita pahami adalah salah satu teknik dalam belajar, yaitu upaya memaku ingatan tentang suatu pengetahuan baru (istilah kerennya: melakukan internalisasi).

Mendengar, membaca, megungkapkan kembali secara lisan, menuliskan, adalah rangkaian aktifitas belajar.

Aku sudah melewati keempat proses tersebut, tapi tak kunjung mendapatkan pemahaman. Ini berarti apa? Dalam teori pendidikan, ditekankan perlunya perulangan. Makanya ada istilah ulangan (ujian) di sekolah-sekolah. Repetition (pengulangan) adalah salah satu cara mematri pengetahuan dalam diri pembelajar.

Nampaknya aku perlu banyak mengulang nih .. Apalagi kalau ingat lirik lagu qosidah 'belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa, bagaikan mengukir di atas air.

Pengembaraan Belantara Teori

Semalam kuliah terasa berat. Disamping materi yang tidak ringan (cerita tentang teori), kelopak mata seperti mau terkatup saja. Teknik lama diterapkan: banyak bertanya biar jaga. Gak penting pertanyaannya ora mutu, sing penting muni, hehe, teknik jitu biar tak terlelap di kelas .. hehehe.

Baiklah, ini sedikit oleh-oleh pelajaran yang bisa aku tangkap di tengah kantuk yang menyerang. Sajian di tulisan ini agak 'nggrambyang' tetapi sejalan dengan himbauan dosen kami, Dr Turnomo Rahardjo, "Mari kita biarkan obrolan mengembara memasuki belantara, supaya kita tahu belantara ini seperti apa."

Perjalanan mengembara saat ini belum disertai misi 'memahami tuntas', tetapi terbatas pada 'sudah pernah melihat.'

Buku panduan pelajaran: A first Look at Communication Theory (Em Griffin)

Pelajaran dimulai dengan penjelasan Pak Tur bahwa yang dimaksud dengan inqury adalah upaya menghasilkan teori melalui 3 langkah berikut:
1. Asking questions - mengajukan pertanyaan
2. Observing - melakukan pengamatan
3. Constructing theory - menyusun teori

Lalu dijelaskan perbedaan antara teori dengan taxonomi. Teori adalah konsep-konsep yang berhubungan satu sama lain sementara taksonomi merupakan kumpulan konsep yang tidak menunjukkan hubungan satu sama lain.

Di dalam bab awal proposal atau hasil suatu penelitian, kerap dijumpai bagian yang menjelaskan tentang kerangka teori dan kerangka konsep. Apa beda keduanya?

Kerangka konsep: biasa ditemukan dalam penelitian tipe deskriptif (pendekatan kualitatif): misal penelitian tentang perilaku komunikasi suku terasing di suatu lokasi.

Kerangka teori: biasa ditemukan dalam studi eksplanatif (pendekatan kuantitatif) yang mencari penjelasan tentang suatu relasi kausalistik: misal penelitian tentang pengaruh televisi pada anak.

Mengenai teori, dijelaskan adanya 3 sifat teori:

1. Abstrak: tidak ada satu teori yang mampu menjelaskan semua. teori selalu berfokus pada satu bidang dan melupakan (meniadakan) bidang yang lain.

2. Konstruktif: teori merupakan hasil pemikiran manusia yang memiliki kelebihand an kekurangan (merupakan hasil berfikir manusia). Implikasi dari pemahaman sifat konstruktif teori adalah: lebih baik mempertanyakan kegunaan teori ketimbang kebenaran teori.

3. Terkait tindakan: bahwa setiap tindakan, sadar atau sadar, selalu dipandu teori. Ini berarti teori dan tindakan intelektual saling terkait satu sama lain.

Penjelasan yang merupakan inti dari perkuliahan malam tadi (11 Oktober 2010) adalah mengenai 4 elemen dasar teori.
1. Asumsi-asumsi filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
2. Konsep
3. Eksplanasi
4. Prinsip-prinsip

Perlu diingat, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan teori, sifat-sifatnya, juga elemen-elemennya akan sangat membantu kita dalam memahami gagasan-gagasan dalam setiap teori komunikasi. Dengan pemahaman itu pula kita akan tahu konsep-konsep apa yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi tertentu (misal uncertainty reduction theory) yang akan membantu kita menelusuri pangkal filsafat berfikirnya dan oleh karenanya akan tahu pendekatan dipakai, apakah kuantitatif maupun kualitatif.

Pemahaman akan 'belantara' teori merupakan pengantar bagi mahasiswa S2 dalam mempersiapkan diri menjadi teoritisi, yang diharapkan mampu menerapkan, menjelaskan, bahkan memberikan sumbangan terhadap upaya pengembangan suatu teori.

Ada ungkapan anekdot Dr Turnomo, "Memahami teori itu keren." Saat ini aku belum mampu menangkap maknanya. Mungkin kelak, bila aku udah banyak baca dan mulai paham sedikit demi sedikit mengenai teori (khususnya teori komunikasi), 'keren' itu bisa aku pahami.

Nah .. itu sedikit yang 'dapat aku tangkap. Selainnya, lewat-lewat saja he2 .. maafkan .. :)

Baca juga posting berikut tentang ontologi, espitemologi, dan aksiologi.

Sunday, 10 October 2010

Cerita Polling Pemilu

Senang sekali membaca Bab 7 buku "The Basics of Communication Research" tulisan Leslie A. Baxter dan Earl Babbie (Wadsworth - 2004). Bagian awal bab yang diberi judul "The Logic of Sampling" itu bercerita tentang asal mula teknik sampling dalam penelitian komunikasi.

Adalah Literary Digest, majalah berita populer di Amerika (1890-1938), yang pada tahun 1920 melakukan polling untuk memprediksi pemenang pemilihan presiden di Amerika, antara kandidat Warren Harding dan James Fox.

Kartu pos dikirim kepada responden yang dipilih dari buku kuning dan data kepemilikan mobil. Digest sukses menebak Harding jadi presiden. Kesuksesan berlanjut untuk 3 periode polling berikutnya (1924, 1928, dan 1932) tetapi gagal pada 1936 ketika Roosevelt (incumbent) bertarung melawan Alf Landon.

Salah satu penjelasan sebab kegagalan tersebut adalah pada sampling frame yang digunakan, dalam hal ini pemilik pesawat telepon dan pemilik mobil - kelompok masyarakat yang tergolong makmur. Teknik sampling tersebut tidak memasukkan kelompok miskin Amerika yang dalam kondisi depresi ekonomi saat itu lebih memilih Roosevelt yang berkampanye dengan program "New Deal" - sebagai respon terhadap dampak resesi ekonomi melalui apa yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan "3 Rs" - relief, recovery and reform: bantuan bagi para penganggur dan rakyat miskin, mengangkat kembali ekonomi Amerika ke level normal, dan reformasi sistem finansial untuk mencegah gelombang depresi selanjutnya. Dalam kondisi bangsa Amerika saat itu, New Deal merupakan kampanye yang ciamik.

Yang sukses meramalkan kemenangan Roosevelt adalah Gallup - American Institute of Public Opinion. Gallup menggunakan teknik quota sampling dimana responden dipilih berdasarkan karakteristik populasi yang diteliti: proporsi laki-laki, proporsi perempuan, proporsi berdasarkan variasi pendapatan, usia, dll. Dengan quota sampling, Gallup meneruskan sukses dalam polling tahun 1940 dan 1944.

Tahun 1948, Gallup dan hampir semua lembaga polling di Amerika salah prediksi. Mereka meramalkan Truman kalah. Yang terjadi sebaliknya. Truman menang atas kandidat Thomas Dewey. Kegagalan tersebut dijelaskan sbb: (1) sebagian besar lembaga polling menghentikan analisa pada bulan Oktober pada saat grafik Truman terus menunjukkan kestabilan, (2) banyak pemilih yang masih belum memutuskan pilihan selama masa-masa kampanye tetapi kemudian pilih Truman ketika sudah berada dalam bilik suara, (3) sample tidak representatif (ini adalah penyebab utama).

Quota sampling menjadi penyebab kegagalan Gallup tahun 1948 tersebut. Dalam teknik ini, peneliti diharapkan tahu tentang total populasi. Data total populasi diperoleh dari hasil sensus penduduk. Gallup menggunakan data sensus tahun 1940 sementara pada tahun-tahun sekitar 1948 terjadi urbanisasi besar-besaran di seantero Amerika karena terjadinya Perang Dunia II. Penduduk kota cenderung memilih Demokrat (Truman) sehingga terjadi over-representasi pemilih rural yang sekaligus berarti under-estimasi pemilih Demokrat.

Menarik bukan?

Lebih sip lagi kalau menelaah apa yang terjadi tahun 2000 lalu ketika Bush menang melawan Al Gore. Tapi maaf, aku gak bisa jelasin lebih mendetail. Aku gak paham apa yang dimaksud dengan 3-4 percentage points yang merupakan fenomena dalam polling tahun itu. Ada yang bisa bantu?

Tetapi ada satu yang aku pelajari dari membaca bagian awal Bab 7 ini, dan ini bagiku sungguh menakjubkan. Apa itu? Hanya dengan wawancara kurang dari 2000 orang, lembaga polling bisa memprediksi kecenderungan pilihan lebih dari 100 juta pemilih. Wow! Hanya 2000? Untuk 100 juta pemilih? Caranya? Hmmm .. kayaknya kudu baca semua bab dalam buku ini supaya tahu jawabannya ...

Satu lagi: ada faktor-faktor yang 'kelupaan' (misal: dalam konteks Amerika - urbanisasi besar-besaran sekitar tahun 1948 yang merubah data sensus 1940) yang kemudian alfa dipertimbangkan dalam penentuan sample. Dari sini aku pelajari kesuksesan penelitian ternyata terpulang pada cara penentuan sample. Bener gak ya?

Ayoooo .. sekarang pada bacaaaa .... :)

Friday, 8 October 2010

Renungan Untuk TVRI dan RRI

Ada beberapa peluang yang mestinya bisa dimanfaatkan lembaga penyiaran publik (LPI - TVRI dan RRI) dalam menjamin keberlangsungan hidupnya dalam jagat komunikasi negeri ini. Sebagai yang diberi mandat penyiaran pro-sosial, yang berpihak pada publik, kedua lembaga penyiaran ini mestinya bisa hidup terhormat tanpa perlu menyewakan halaman kantor mereka sebagai tempat bursa mobil bekas (fenomena di TVRI Yogyakarta dan Semarang) demi mendapatkan tambahan pendapatan.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan TVRI dan RRI berada dalam kondisi hidup segan mati tak hendak. Perlahan namun pasti, kedua lembaga penyiaran yang memiliki sejarah panjang sebagai pemersatu bangsa sejak zaman awal kemerdekaan dulu mulai ditinggalkan pemirsa dan pendengar. Saat ini persaingan media sangatlah ketat. Sekedar analogi, tanpa keterampilan dan energi yang cukup, seorang pemain sepakbola profesional lambat laun akan ditendang pelatihnya - tak dipakai lagi.

Dalam diskusi Kuliah Komunikasi Massa yang dibimbing Dr Turnomo Rahardjo kemarin malam (8 Oktober 2010), terungkap berbagai hal yang 'mestinya' bisa dimanfaatkan TVRI dan RRI untuk tetap eksis.

1. Undang-undang menyebutkan hanya TVRI dan RRI yang merupakan lembaga penyiaran publik. Yang lain adalah lembaga penyiaran komersil semacam RCTI, Metro TV, Radio Elshinta, Radio Trijaya dll. atau lembaga penyiaran komunitas (dengan jarak jangkauan maksimal 2 km.) Dengan peran ini, TVRI dan RRI semestinya bisa memfokuskan diri pada konten siaran yang pro-sosial atau berpihak pada kemajuan bangsa. Yang terjadi sekarang adalah kedua lembaga seakan berusaha bermain di wilayah komersil terlihat dari usahanya menarik iklan maupun meniru program.

2. Kaitannya dengan program, kalau mampu melihat peluang baik, maka TVRI dan RRI akan selalu mendapat tempat di hari permirsa dan pendengar. Ada beberapa program mereka yang sampai saat ini tidak mendapatkan 'saingan' seperti acara-acara yang mengekspos seni budaya anak bangsa semacam musik keroncong, sendratari, atau sandiwara. Dulu RRI punya program sandiwara radio yang berisi pesan-pesan pembangunan, bercerita tentang keindahan hidup dalam latar belakang agraris, mendorong motivasi rakyat untuk berkarya dan tak putus asa. Apakah acara-acara semacam itu masih ada?

3. Jaringan luas sampai ke ujung perbatasan hanya dimiliki TVRI dan RRI. Banyak dari kita yang mendapatkan kegembiraan bisa mendengarkan siaran berita nasional ketika sedang berada di suatu wilayah antah berantah di sudut terjauh Indonesia. Ketika siaran lokal tak mamu menjangkau, TVRI dan RRI terasa sangat dekat.

4. Juga tentang jaringan, kita tahu TVRI dan RRI memiliki kantor di daerah. Kita kenal ada TVRI lokal seperti TVRI Stasiun Yogyakarta atau Semarang. Lalu ada RRI di daerah, dikenal dengan RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah). Dalam dunia yang makin terhubung, memiliki jaringan adalah aset. Kapan aset itu bisa dimanfaatkan efektif oleh TVRI dan RRI?

Itulah sekelumit hal yang bisa dijadikan renungan bagi penyelenggara TVRI dan RRI supaya mereka tak hanya berguna untuk mencocokkan jam tangan atau pas menunggu bedug magrib penanda buka puasa. Sayang sekali kalau fungsi kedua lembaga besar tersebut hanya sebatas remeh temeh seperti itu.

Renungan pendek ini tidak bermaksud menghakimi TVRI dan RRI yang dari 'sononya' sudah memiliki nama besar. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penjelas mengapa kondisi kedua LPI belum membaik dalam beberapa windu belakangan ini.

1. Organisasi TVRI dan RRI adalah organisasi birokrasi raksasa dengan jumlah staf yang tidak sedikit. Diperlukan rasionalisasi besar-besaran untuk membuatnya menjadi organisasi langsing tapi berkualitas. Tetapi apakah pemerintah mampu mengadakan dana besar untuk melakukan PHK besar-besaran? Ini adalah pekerjaan rumah bagi semua.

2. Di era teknologi komunikasi sekarang, teknologi menyediakan peralatan siar yang tidak memerlukan banyak operator. Apakah TVRI dan RRI sudah berinvestasi cukup untuk menggantikan peralatan sial mereka yang sudah layak masuk museum? Ini juga pekerjaan rumah, menyangkut dana besar.

3. Bagaimana dengan sumberdaya manusia? Cukupkah tersedia personel siar, wartawan, staf dokumentasi dan perpustakaan, peneliti, editor, dll? Kapan terakhir mengirim wartawan untuk belajar? Studi banding?

Nah .. itu dulu uraiannya (maaf kurang lengkap, catatan kuliah ketinggalan entah dimana .. hehehe) .. Kalau ada yang nambahin, dipersilahkan ... supaya memperkaya pemahaman kita tentang TVRI dan RRI yang kita cintai bersama .. tenan loh .. aku cinta mereka, karena mereka jadul ... :) Udah bosen sama Ipod dan sinetron! Maunya kembali ke zaman dulu saja ... yang penuh nostalgia Mana Suka Siaran Niaga .. hahahaha ..

Bravo TVRI dan RRI!

Tuesday, 5 October 2010

Beda S2 di Luar Negeri dengan di Semarang

Aku membayangkan kuliah S2 di luar negeri bisa jadi sangat berat dibandingkan dengan di Semarang (baca: dalam negeri). Luar negeri tidak mesti Eropa atau Amerika. India dan Filipina juga merupakan tantangan tersendiri bagi para pelajar.

Kendala bahasa akan selalu menjadi yang terberat. Bagaimanapun, kemampuan Bahasa Inggris (speaking, listening, writing, dan reading) merupakan syarat mutlak. Akan sangat menyusahkan bila harus mendengarkan dosen atau diskusi di kelas dengan kemampuan Bahasa Inggris yang pas-pasan. Harus konsentrasi penuh (baca: mengernyitkan kening) bila tak mau kehilangan jejak. Kalau vokal dosennya jelas, mungkin kita akan terbantu, tetapi beberapa penutur Bahasa Inggris berbicara seenak udele dhewe, bawa-bawa dialek kampungnya atau terpengaruh bahasa ibunya (mother toungue) yang kebetulan bukan English. Doi dari Jamaika!

Kuliah di Semarang tentunya jauh lebih memudahkan. Mendengarkan kuliah sambil SMS-an atau ketik email masih bisa kita lakukan. Dengar samar-samar dari luar, karena sedang merokok di bawah jendela (hehehe), juga masih bisa mengerti materi perkuliahan.

Bayangkan kalau kuliah di Amerika. Bahasa akan menjadi penghalang dalam berbicara dengan teman sekelas, tanya kejelasan tugas, tanya buku referensi. Mungkin yang ini agak mudah karena teman mestinya paham bila Bahasa Inggris kita kurang mantab. Tetapi mungkin dampaknya stressing bila gak bisa ikut guyon, melontarkan seloroh atau sekedar joke, bisanya cuma mesem-mesem, ngerti tapi tak bisa membalas. Oh... rasanya bakal berat di hati.

Kuliah di Semarang, mestinya juga lebih mudah. Buku terjemahan banyak. Kios fotokopi berceceran di daerah seputar kampus. Tak paham dengan hal tertentu, dengan mudah tanya dosen atau teman lain, tanpa kendala bahasa. Di Belanda, terjemahan buku pegangan kuliah barangkali memang ada. Tetapi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Belanda! Tambah mumet bukan?

Kendala lain kuliah di luar negeri adalah perbedaan budaya. Kuliah di Semarang, seorang dari Lombok tak perlu banyak adaptasi. Sama-sama orang Indonesia. Tetapi bila kuliah di Australia, hmm .. kebayang deh berbagai kekagetan budaya (cultural shocks) kalau tak arif bersikap. Cipika cipiki adalah hal lumrah di Sydney. Bahkan pemandangan seorang mahasisi bergelayutan (kadang lebih dari sekedar gelayutan) di pelukan seorang mahasiswa lain (mereka memang pacaran) bukan hal yang jarang. Pakaian mahasiswa di musim semi atau musim panas menebarkan pemandangan 'indah.' Bagi yang suka 'menundukkan pandangan,' dituntut untuk lebih sabar lagi.

Ada hal lain yang menurutku paling berat, yaitu dalam masa-masa matrikulasi. Bagi mahasiswa dengan latar belakang S1 yang sama dengan S2 yang diambilnya, maka masa ini akan dapat dilewati dengan relatif lebih mudah. Yang dari jurusan lain memerlukan energi ekstra: membaca bergunung-gunung buku supaya bisa memahami apa yang menjadi the big picture dari program kuliah yang dia ambil. Pelajaran teori, filsafat, dan ilmu-ilmu dasar lainnya, biasanya diberikan pada perkuliahan awal. Kalau tidak mudeng, bakal susah. Untuk mudeng filsafat ilmu kuliah ilmu komunikasi di Mikom UNDIP, seorang mahasiswa perlu sekurangnya 5 buku (apa iya? heheh . perlu diuji nich kebenaran angka 5). Di luar negeri, kalau tak bergunung-gunung, minimal berbukit-bukit deh ...

Tetapi ..

Nih ada tetapinya. Kuliah S2 di luar negeri tetap sangat menarik bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Bahkan mahasiswa S2 yang sedang kuliah di Semarang, contohnya saya hehehe, mau-mau saja meninggalkan Semarang kalau ada kesempatan sekolah di Amsterdam atau Melbourne.

Mengapa?

1. Jamin deh .. setamat kuliah di luar negeri (terutama di negara-negara dengan bahasa pengantar Inggris), bahasa Inggris kita akan lancaaar. Juga akan lebih pede. Wong sehari-hari yo ngomong londo! Gimana gak lancar?

2. Pengalaman (TERPAKSA) baca buku lebih banyak bisa kita rasakan kalau kuliah di Bonn. Untuk matrikulasi dan supaya bisa mengikuti perkuliahan, kita dipaksa baca buku, jurnal, artikel, dll. dll. Di Semarang, bisa juga siih .. tapi .. kadang (TERPAKSA) tidak sebanyak di luar negeri.

3. Keren (1). Kan kuliah di luar negeri! Jebolan Universitas Prancis! Beda dikit dengan jebolan universitas something di Semarang!

4. Keren (2). Kan pernah tinggal di Paris. Juga jalan-jalan keliling Eropa pas liburan. Lihat Stadion Sepak Bola tempat Lionel Messi berlatih di Barcelona, Spanyol, sisa-sisa kejayaan Islam di Istambul, naik gondola di Venice, lihat jejak dimana buku Huckleberry Finn tulisan Mark Twain pertama kali diterbitkan di London, mengukur kecondongan Menara Pisa di Italy. Keren bukan? Kalau kuliah di Semarang, paling jauh jalan-jalannya ke Borobudur! Itupun plus dikejar-kejar penjual asongan yang menjajakan topi berlabel Borobudur!

5. Terbiasa kuliah S2 di negeri asing, barangkali akan memudahkan cari beasiswa buat S3. Dan kalau sudah dapat, kuliah S3 mungkin akan lebih mudah. Udah terbiasa belajar dengan cara-cara di luar negeri.

Ada yang mau nambahin?

Review, Preview, Tugas Kuliah

Sebulan berlalu. Perkuliahan sudah memasuki masa-masa 'banjir tugas.' Sudah ada 5. Yang paling banyak adalah tugas membuat review bab dari buku atau jurnal terkait materi perkuliahan.

Bagi sebagian mahasiswa, review tidaklah sulit. Tetapi bagi sebagian lainnya, termasuk aku, makna review sendiri masih hablur. Apalagi materi yang akan di-review, Bahasa Inggris lageee .. hehehe.

Karena gak juga paham, tentang apa yang sebenarnya yang dilakukan dalam me-review sebuah tulisan, sudah pernah aku tanyakan kepada 2 dosen, plus 1 teman kuliah (yang juga dosen).

Berikut adalah kesimpulanku dari beberapa jawaban yang mereka berikan:

1. Review bukan preview. Apa bedanya? Silahkan lihat sendiri di kamus .. hehehe

2. Review bukan menerjemahkan. Yo to yo, kalau terjemah kan sudah ada kata tersendiri: translation.

3. Review adalah semacam meringkas isi bab/artikel/buku. Misal tulisan asli 12 halaman, hasilnya menjadi 4 halaman. Yang diambil adalah substansi bahan bacaan. Tangkap substansinya, lalu uraikan dengan bahasa sendiri.

4. Beri komentar tentang isi. BIla perlu dengan kutipan ahli lain. Nah ini dia bagian yang tidak mudah. Menurutku, memberikan komentar mengenai isi sebuah tulisan, apalagi penulisnya adalah dewa dalam bidang tersebut, agak tidak mungkin. Tetapi beberapa teman yang sudah pengalaman dalam dunia per-komentar-an (barangkali mereka adalah komentator TV hehehe), komentar kritis akan muncul seiring dengan banyaknya bahan bacaan yang sudah pernah lewat di memory kita. Nah loh. Makanya ... banyak bacaa!

5. Komentar kritis nan akademis belum bisa, minimal pakai akal sehat saja. Asal komentarnya tidak sebatas: "Wah .. artikel ini bagus sekali", atau "Hmm .. Nampaknya pengarang pandai sekali!"

Terakhir, yang paling penting terkait dengan tugas-tugas kuliah: jangan menunda-nunda mengerjakan tugas kalau tidak mau tak jenak tidur. Alasan: (1) tugas lain akan segera bermunculan, (2) mengumpulkan tugas 'kurang berkualitas' masih lebih baik ketimbang tidak mengumpulkan sama sekali. :)

Kriteria Dosen Menyenangkan

Judul tulisan ini terinspirasi terjemahan ngawur sebuah frase dalam Bahasa Jawa, "Dosen nyenengke." Ungkapan yang sering dilontarkan mahasiswa menanggapi cara-cara dosen mereka mengajar. Alasan yang membuat menyenangkan dalam kata nyenengke sebenarnya multi tafsir. Bisa karena dosennya cantik atau ganteng, karena suka ngajak guyon, tidak suka 'marah-marah,' tidak pelit masalah nilai, bersikap menerima setiap pertanyaan apa saja - yang gak bermutu sekalipun, dan banyak hal lain. Sangat subyektif dan tergantung masing-masing mahasiswa to yo.

Ketika sedang melamun (pikiran entah dimana) dalam sebuah diskusi kelas, aku iseng membuat catatan berikut. Aku sebut kriteria dosen menyenangkan, tentunya menurutku.

1. Yang paham dengan apa yang diajarkan. Mungkin bukan tidak paham ya, tapi kadang dosen (sebagaimana halnya manusia biasa) datang ke kelas agak kurang siap, sehingga alur obrolan di kelas tidak jelas.

2. Yang menerangkan materi pelajaran dengan menggunakan contoh-contoh aktual yang diambilkan dari sekeliling kita. Misal: contoh dari berita koran terbitan hari ini, bukan tahun lalu, apalagi yang kurang menarik.

3. Presentasi materi menggunakan Bahasa Indonesia, lebih mudah dipahami. Catatan: terjemahan konsep harus bagus donk. (Ada loh terjemahan yang kurang bagus.)

4. Terkait No 1: Dosen yang membuat rencana mengajar. Beberapa dosen sangat memerlukan pedoman karena dapat membantunya membagi waktu mengajar. Misal: 2.5 jam: 10 menit pembukaan, bertanya tetek bengek absensi, kabar mahasiswa, dll. Kemudian 5 menit menjelaskan alur perkuliahan, apa saja yang akan dilakukan selama di kelas, dll. Lalu 1.5 jam untuk presentasi materi diselingi diskusi. Satu jam selanjutnya untuk presentasi mahasiswa (kalau ada) atau membahas tugas mahasiswa yang sudah dikumpul. Selanjutnya penutup, say good bye atau wassalam. Waktu 2.5 jam berlalu dengan bermanfaat. Catatan: Beberapa dosen sudah terbiasa dengan pola-pola mengajar terencana sehingga bisa menggunakan waktu secara efektif (seperti otomatis).

5. Apa lagi ya? Silahkan ditambahi sendiri. Ha ha ha.

Tuesday, 28 September 2010

Teori Hofstede tentang Barat dan Timur

Dari Wikipedia aku temukan penjelasan tentang Hopstede, sosiolog organisasi berkebangsaan Belanda yang banyak menelurkan karya mengenai interaksi antar budaya.

Gerard Hendrik Hofstede (born 3 October 1928, Haarlem) is an influential Dutch organizational sociologist, who studied the interactions between national cultures and organizational cultures. He is also an author of several books including Culture's Consequences[1] and Cultures and Organizations, Software of the Mind, co-authored with his son Gert Jan Hofstede.[2] Hofstede's study demonstrated that there are national and regional cultural groupings that affect the behaviour of societies and organizations, and that these are persistent across time.

Yang diobrolin tanggal 27 September lalu, di kelas Dr Turnomo Rahardjo, adalah perbedaan budaya Barat dan Timur menurut Hofstede. Barat diartikan sebagai Amerika dan Eropa, sementara Timur diartikan kita-kita ini, misal: mahasiswa dari Semarang. Berikut sekelumit hasil obrolan:

1. Barat lebih individualistic (lebih mengedepankan AKU ketimbang KITA yang digemari masyarakat Timur atau collectivism).

Dalam budaya Barat, seorang Rafael Nadal akan bilang, "Saya berhasil menjuarai Grand Slam karena saya kerja keras!"

Seorang Joko Suprianto (atlet bulutangkis - kalau ada yang gak kenal) bilang keberhasilannya adalah karena tim pelatih dan keluarga yang memberikan dukungan.

2. Low context merupakan ciri budaya Barat. Bicaranya lugas. Seseorang dalam budaya low context bisa bilang "Saya tidak setuju pendapat anda karena saya melihat kelemahannya." Di Indonesia, lebih high context dimana pendapat disampaikan agak muter-muter, tidak to the point.

Dalam budaya low context, diterapkan low uncertainty avoidance atau menghindarkan hal-hal yang tidak jelas. Misal, kalau bikin janji pertemuan, jamnya ditentukan jelas. "Rapat jam 9 pagi!" beda dengan "Oh ya, ntar ketemuan abis Magrib ya ..." Jam gak jelas ...

3. Barat lebih bersifat masculine (nature) sementara Timur lebih feminine (nurture) atau mengedepankan harmoni.

Memahami dikotomi Hofstede ini akan mengarahkan kita pada perlunya komunikasi antar budaya atau inter-cultural communication yang mempersyaratkan pemahaman dan apresiasi terhadap budaya lain. Kunci komunikasi adalah inter-cultural negotiations untuk mengurangi atau menghilangkan potensi konflik.


Karakteristik Komunikasi

Lalu ada istilah karakteristik komunikasi yang disampaikan oleh Dr Turnomo Rahardjo, juga pada kuliah tanggal 27 September.

1. People communicate for a variety of reason: manusia berkomunikasi dengan berbagai macam alasan, misal intelektual (contoh: diskusi kluiah di kelas), emosional (misal: mengungkapkan kejengkelan atas suatu ketidak-adilan), dan sosial (misal: memberi masukan solusi untuk menangani masalah air rob di Semarang).

2. Communication may have intentional and unintentional effects: apa yang kita katakan dan lakukan tidak selalu dimaknai orang lain seperti yang kita kehendaki. Setiap orang memiliki otonomi (free will) dalam memaknai suatu realitas. Moralitas dari hal tersebut: jangan pernah menyatakan diri paling benar karena kalau demikian akan menimbulkan polarized communication - akan akada pengkutuban komunikasi dimana kedua kutub bertentangan (konflik)

3. Communication involves the use of symbols: Lambang-lambang verbal dan non verbal secara lisan maupun tertulis merupakan alat utama dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan.

4. Communication involves at least two people, to varying degrees, influence to each other’s actions: Berkomunikasi dengan (lebih dari sekadar) kepada orang lain. Communicate With Others (setara); Communicate To Others (tidak setara). Esensi komunikasi adalah dialog: memberikan kesempatan kepada banyak suara atau pendapat.

5. Communication needs not be successful to have occurred: Komunikasi tidak mesti langsung berhasil, gak jadi soal berhasil atau tidak. Komunikasi adalah proses (misal perundingan GAM dengan Jakarta perlu berkali-kali untuk sampai pada kesepakatan)

Komunikasi adalah proses bertemunya orang yang memiliki perbedaan frame of reference dan field of experince guna menciptakan commonness.

6. Communication is dynamics: Semua elemen komunikasi berinteraksi dengan/dan mempengaruhi satu sama lain. Terjadi selama hayat dikandung badan. Saling berhubungan berhubungan satu sama lain.

7. Communication is unrepeatable and irreversible: Sekali komunikasi terjadi, tidak akan bisa diulangi (unrepeatable), misal: kita tak bisa mengulangi marah. Juga tidak dapat dirubah (irreversible), sekali kata-kata keluar, maka ia abadi. Komunikasi bersifat unik dan tidak pernah dapat terjadi secara tepat dalam cara yang sama.

8. Communication is affected by culture: Bagaimana kita mengkomunikasikan (merumuskan dan menginterpretasikan) pesan tergantung budaya (ras, etnisitas, gender, umur) dimana kia berada.

9. Communication is influenced by ethics: Selalu dipengaruhi oleh etika. Kita akan selalu menimbang apakah komunikasi ini atau itu sesuai tidak dengan etika atau prinsip-prinsip moral, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang dipakai sebagai pemandu perilaku. Komunikasi memiliki konsekuensi, sehingga melibatkan penilaian benar atau salah. Good or bad, right or wrong?

10. Communication is competence-based: Kompetensi atau kecakapan komunikasi merupakan hasil penilaian orang lain. Kompetensi menyangkut knowledge, attitude, dan skills.

11. Communication is being transformed by media and technology: Saat ini media dan teknologi merubah segala hal terkait dengan komunikasi. Kalau dulu perlu menunggu seminggu untuk sekedar berucap selamat tahun baru, sekarang dengan SMS, langsung sampai.

Begitulah kira-kira karakteristik komunikasi. Hmm .. agak berat nih .. sedikit perlu hafalan supaya bisa menjawab pertanyaan dosen pas ujian nanti. Hehehe.

Elemen Komunikasi

Ada tujuh elemen komunikasi yang dipaparkan dalam kuliah tanggal 27 September oleh Dr Turnono Rahardjo: people, message, channel, noise, context, feedback, effect. Berikut adalah pembahasan singkat masing-masing.

1. People
Komunikasi melibatkan orang: bisa antarpribadi, kelompok kecil, dan publik berlangsung antara dan diantara semua tipe sender dan receiver (bergantian merupakan individu-individu yang memberikan dan menerima pesan secara serempak).

2. Message
Bersifat verbal (menggunakan kata-kata) dan non-verbal. Yang bersifat non-verbal antara lain: proxemics (kedekatan), haptic (sentuhan), olfatics (aroma), chronemics (waktu), eye movement / oculestic (gerakan mata), hand and head movement (gerakan tangan dan kepala), metalanguage atau paralanguage (teriakan, desahan, dll),

3. Channel
Artinya: saluran yang kita gunakan dalam berkomunikasi. Misalnya semua indera kita. Manusia adalah Kita adalah multichannel communicators.

4. Noise
Merupakan distorsi yang berpotensi mengganggu efektifitas komunikasi. Misal aroma yang terlalu tajam, suara bising, ruangan yang panas, dll.

5. Context
Kita berkomunikasi selalu dalam konteks. Misalnya, kadang dalam konteks organisasi, lalu berubah menjadi konteks akrab / keluarga.

6. Feedback
Merupakan respon dari pihak lain terhadap pesan yang kita sampaikan. Feedback dapat dibedakan menjadi: immediate (langsung), delayed (tertunda), lalu positive atau negative.

7. Effect
Komunikasi berdampak atauberpengaruh terhadap orang lain. Dampaknya bisa macam-macam, misal: cognitive (pengetahuan), affective (sikap atau perilaku), conative (tindakan), atau campuran. Misal: dampak iklan larangan merokok masih sebatas kognitif, dan belum tindakan. Sadar bahaya merokok, tapi tetap saja merokok.

Picture Illiteracy

Banyak yang kaget ketika melihat langsung bintang film pujaannya ternyata tidak 'secantik' di layar televisi. Tak segagah yang dibayangkan. Komentar seperti "Kok kulitnya gelap?" atau "Kok beda ya dengan di TV?" sering kita dengar. Bahkan kita sendiri mungkin pernah berkomentar senada.

Hal-hal tersebut mungkin bagian kecil dari apa yang disebut dengan picture illiteracy, sebuah penjelasan tentang ketidakmampuan pemirsa televisi membedakan realitas layar kaca televisi dengan realitas yang sebenarnya.

Jenis 'buta huruf' yang satu ini perlu diwaspadai karena dampaknya dalam menghadirkan bayangan realitas tak sebenarnya di benak para pemirsa televisi.

Tapi .. tunggu dulu. Sebelum berlanjut, takutnya malah salah jalan, mending berhenti di sini dulu ...

Masalahnya, aku coba buka Google untuk cari bahan bacaan terkait dengan kata kunci picture illiteracy, kok gak dapet-dapet ya? Yang banyak visual literacy atau text literacy ...

Ada yang bisa kasi penjelasan? Lontooo...ng .. eh salah .... Tolooooo...ng!




Monday, 27 September 2010

Obrolan Rupa Rupa

Kuliah Teori dan Perspektif Komunikasi yang dibawakan Dr Turnomo Rahardjo semalam benar-benar kaya bahan. Aku menghabiskan 22 halaman buku catatan!

Dibagian awal, Dr Turnomo menjelaskan perbedaan antara two-way traffic communication dengan two-step flow communication. Yang pertama adalah komunikasi yang bersifat dua arah, sedangkan yang kedua adalah salah satu teori dalam komunikasi massa.

Uraian tentang two-step flow communication cukup menarik karena menjelaskan bagaimana ide yang dimiliki suatu media massa disampaikan kepada khalayak (followers) dengan menggunakan opinion leaders (nara-sumber)

media massa -------> opinion leader ------> followers
----------------step 1--------------------step 2-----------

Lalu obrolan berlanjut dengan communication network analysis sebagai alat untuk menemukan opinion leader yang sebenarnya. Dalam alat analisa tersebut, diajukan 2 pertanyaan dasar:

1. Kepada siapa responden bertanya bila memerlukan informasi tertentu? Sebutkan 2 sumber.
2. Sumber mana yang paling berpengaruh pada responden?

Dengan dua pertanyaan tersebut maka kita akan bisa menentukan apakah opinion leader berfungsi sebagai source of information ataukah source of influence.

Opinion leader dibedakan menjadi dua:
- monomorphysm (ahli dalam satu bidang saja)
- polymorphysm (ahli dalam lebih dari satu bidang)

Pemahaman tentang hal tersebut digunakan oleh Dr Turnomo untuk menjelaskan kualitas wartawan di negara ini.

"Idealnya, seorang wartawan adalah spesialis (monomorfik) sehingga kualitas pemberitaannya bagus. Cuma sayang, ada banyak hal yang menyebabkan rendahnya kualitas wartawan kita saat ini. Salah satunya karena gaji yang tidak memadai, kecuali di Kompas dimana seorang wartawan bisa bergaji 14 kali dalam setahun!"

Eits .. ini baru pembukaan... Isi kuliah sebenarnya ada di posting selanjutnya.

Thursday, 23 September 2010

Garda Mikom UNDIP

Kalau siang, Pak Rosyid berpakaian seragam celana panjang warna biru dan atasan putih, lengkap dengan atribut SATPAM Pasca Sarjana UNDIP, Kampus Peleburan. Malam? Pak Rosyid lebih sering pakai atasan batik dibungkus jaket hitam. Bersama Pak Priyo, dia menjadi garda depan perkuliahan malam Program Mikom.

"Yang siapkan kopi dan snack ada sendiri kok, orang catering," begitu Pak Rosyid menjelaskan keberadaan 4 termos minumam hangat (2 berlabel coffeemix dan 2 teh) yang disediakan di depan ruang perkuliahan lantai dua saban malam, untuk dosen dan mahasiswa.

"Di tempat lain kayaknya gak pakai snack," imbuh lelaki berkulit gelap dan muka yang selalu nampak tersenyum.

"Snacknya selalu ganti, enak-enak lagi," kata Deka, mahasiswa Mikom angkatan III asal Jakarta.

Sepengetahuanku, di salah satu program pasca sarjana lain, juga di UNDIP, bahkan untuk fotocopy bahan kuliah, mahasiswa harus urunan. Istriku, juga sedang ambil kuliah magister, beberapa kali bawa snack sendiri.

"Buat rame-rame di kelas," katanya.

Apakah ada hubungan antara ketersediaan snack plus minumam gratis dengan kebahagiaan mahasiswa yang kemudian berujung kesuksesan kuliah di Mikom? Diperlukan penelitian untuk menjawabnya. He he he. Serius amat! Tapi bukankah dalam penelitian-penelitian psikologi pendidikan, kemudahan belajar memiliki hubungan positif dengan kesuksesan dalam belajar? Hmm ...

Mengenai bahan kuliah (slide dan file elektronik lainnya), mahasiswa tidak perlu menunggu, apalagi sampai minta-minta. Pak Priyo, garda Mikom berambut keperakan, sigap mengirimkan semuanya via email, kurang 24 jam sejak kuliah berakhir. Kalau semalam kuliah jam 19.30, maka bisa dipastikan, antara jam 14.00 atau 17.00 hari ini, semua bahan sudah masuk inbox kita. Asyik bukan? Tak perlu copy sendiri dari laptop yang dipakai presentasi. Selain merepotkan juga makan waktu!

Mengenai laptop presentasi, nampaknya bukan zaman lagi harus pakai laptop pribadi. Di kelasku, selain LCD projector, sebuah laptop warna hitam sudah nangkring di meja dosen sesaat sebelum pelajaran dimulai. Dosen dan mahasiswa tidak perlu usung-usung laptop dari rumah. Cukup bawa USB memory, presentasi siap dilakukan.

Mau fotokopi buku? Sehabis kuliah, cukup serahkan judul buku kepada Pak Rosyid dan Pak Priyo. Setebal apapun pesanan akan siap keesokan harinya. Cukup bawa duit pengganti fotokopi, tak perlu uang tambahan. Pak Rosyid dan Pak Priyo sudah cukup senang mendapatkan limpahan pahala karena membantu menciptakan kemudahan bagi mahasiswa.

Lupa bawa dasi untuk kuliah? Eits .. jangan salah .. di Mikom gak ada istilah pakai dasi. Bikin ribet dan gerah saja! Hahahaha... Dosen sendiri sudah 'menolak' dasi sejak Mikom berdiri, begitu cerita Pak Sunarto, Ketua Program Mikom, menjelaskan dalam kuliah umum awal September lalu.

Snack dan mimum hangat gratis. Fotocopi bab buku, kadang-kadang gratis. Slide dan bahan kuliah lain dalam bentuk elektronik, otomatis masuk inbox email. Buku perpustakaan sampai 400 judul (lebih banyak terbitan anyar!), fotocopi buku yang sangat 'dimudahkan', laptop untuk presentasi, tak perlu pakai dasi, santai saja ... semuanya adalah berbagai bentuk kemudahan, kemudahan yang semoga saja dapat menjadi garda kesuksesan kuliah di Mikom. :)

Komunikasi Strategis untuk Organisasi

Mata kuliah ini benar-benar merupakan inti dari semua perkuliahan di Program Mikom karena tujuannya menyiapkan mahasiswa mampu memimpin dan merencanakan aktifitas komunikasi suatu organisasi. Sebuah tujuan pragmatis yang berangkat dari pemahaman (beberapa tahunterakhir ini) tentang esensi kebutuhan komunikasi suatu organisasi yang lebih dari sekedar manajemen komunikasi.

Dalam kuliah perdana tanggal 22 September lalu,kami 'ngobrol' tentang kasus kebocoran minyak BP (British Petroleoum) yang terjadi di lepas pantai Teluk Mexico. Menurut dosen kami, Pak Joko Setiabudi, kasus ini merupakan kasus Public Relations / Humas tahun 2010.

Dalam 'peta masalah' yang digambarkan di depan kelas, terlihat berbagai isu yang terkait dengan kasus ini dimulai dari isu teknis (kebocoran pipa pengeboran), lalu dampak terhadap masyarakat sekitar lokasi pengeboran (terutama nelayan) dan aktifitas organisasi non-pemerintah yang melakukan protes dan advokasi, lalu bagaimana kasus tersebut 'disambar' media, kemudian isunya melebar ke lantai bursa (Wall Street) menyebabkan turun naiknya harga saham BP, keterlibatan politik (Presiden Obama berenang di Teluk Meksiko), kesigapan tim komunikasi BP mengelola masalah melalui koordinasi kantor pusat dan di tiap-tiap negara dimana kantor perwakilan BP ada, perlunya BP menyewa jasa konsultan komunikasi untuk menangani krisis, dst. dst.

Mirip dengan kasus BP, kasus lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo juga dapat dikatakan sebagai kasus PR. Hanya saja yang satu ini kurang tertangani dengan baik, disamping kompleksitas kasus terkait campur aduk antara bisnis, politik, dan berbagai isu lain sehingga sampai sekarang masih belum dapat terselesaikan dengan baik.

Dari kuliah malam itu, ada beberapa hal yang sempat aku catat:

1. Melakukan studi komparasi kegiatan komunikasi beberapa lembaga non-pemerintah (bisa lembaga penelitian, lembaga pendampingan, dll.)
2. Peluang untuk mendirikan jasa konsultasi komunikasi untuk menangani krisis komunikasi organisasi.
3. Studi kondisi humas di lembaga pemerintah ditinjau dari teori komunikasi tertentu
4. Survey bagaimana suatu proyek non-pemerintah merencanakan strategi komunikasi proyeknya (sejauh mana mereka memahami perlunya strategi komunikasi, komitmen budget, implementasi di lapangan, dan isu-isu terkait lainnnya).

Komunikasi Massa dan Berbagai Isu Menarik

Pelajaran ketiga dalam program kami adalah Perspektif dan Teori Komunikasi Massa. Tim dosen dipimpin Dr. Turnomo Rahardjo. Pada pertemuan 2 malam lalu, banyak sekali informasi baru yang aku dapatkan mengenai teori komunikasi yang daat dipakai meninjau aktifitas komunikasi massa.

Beberapa diantaranya sbb:
  • Tradisi Semiotika: Jean Baudrillard and the Semiotics of Media.
  • Tradisi Sibernetika: Public Opinion and the Spiral of Silence.
  • Tradisi Sosiopsikologi: The Effects Tradition; Uses, Gratifications, and Dependency; Cultivation Analysis.
  • Tradisi Sosiokultural: Medium Theory; The Agenda-Setting Function; Social Action Media Studies.
  • Tradisi Kritikal: Branches of Critical Media Theory.
  • Classical Marxism.
  • Political-Economic Media Theory.
  • The Frankfurt School.
  • The Hegemonic Theory.
  • The Sociocultural Approach.
Apa dan bagaimana penjelasan masing-masing teori belum dapat aku sampaikan di sini berhubung keterbatasan pemahaman. Aku berharap seiring perjalanan perkuliahan, pemahamanku akan bertambah. Amiiin.

Tentang komunikasi massa itu sendiri, dapat diartikan sebagai suatu proses dimana organisasi-organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan-pesan kepada publik, proses dimana pesan-pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak.

Definisi tersebut sesuai dengan kajian utama dari komunikasi massa yaitu media.

Media sendiri dibedakan menjadi 4 jenis:
  1. Media komersil (televisi dan radio swasta)
  2. Media publik (TVRI dan RRI)
  3. Media berlangganan (seperti Indovision, Telkomvision)
  4. Media komunitas (jarak jangkauan siar maksimal 2 km, misal radio kampus)
Untuk buku pegangan perkuliahan, Dr Turnomo menyarankan mahasiswa memiliki McQuail's Mass Communication Theory (Edisi ke-6) buah karya Denis McQuail yang diterbitkan Sage Publications (2010). Copy yuuks! hehehe.

Ada beberapa hal menarik yang sempat aku catat dari kuliah 2.5 jam tanggal 22 September tersebut, beberapa hal yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan komunikasi massa, tetapi mungkin dapat jadi bahan renungan:
  1. Secara konseptual, media adalah ruang publik yang dapat dipakai sebagai wahana untuk dialog antar komponen bangsa yang setara (kenyataan di negeri ini berkata lain).
  2. Televisi atau radio beroperasi menggunakan gelombang elektromagnetik yang merupakan ruang publik, sehingga selayaknya mereka tidak semena-mena dalam menggunakan gelombang. (Apa arti semena-mena? perlu tambahan penjelasan ...)
  3. Media penyiaran tidak boleh bersifat partisan (dalam kenyatannya ternyata beda).
  4. Ada keharusan sesuai undang-undang bahwa media tidak boleh melakukan penyiaran secara nasional (nationwide), tetapi harus berjaringan. Bagi media besar, ini berarti ancaman kue iklan harus dibagi-bagi dengan daerah, bukan sesuatu yang membuat mereka senang.

Beberapa kenyataan berikut mungkin dapat pula jadi bahan pemikiran:
  1. Mengapa para terdakwa koruptor muncul berbaju koko dan berpeci hitam ketika maju ke ruang sidang pengadilan?
  2. Mengapa ada artis perempuan yang diisukan berkelakuan kurang pantas tampil berkerudung saat jumpa pers?
  3. Mengapa lembaga penyiaran publik mati suri? Selain dana operasi yang kurang, juga terkait masalah sumberdaya yang a) terlalu banyak namun kurang kualitas - peninggalan Departemen Penerangan dulu, sementara melakukan rasionalisasi pegawai perlu dana yang tidak sedikit; 2) peralatan siar yang sudah tak layak guna: bandingkan dengan peralatan digital sekarang yang cukup dioperasikan beberapa orang saja, c) atau (ini dari teman kuliah - Lusi) karena beban mandat yang terlalu berat sebagai 'pemersatu bangsa' atau 'penjaga bahasa nasional'?
  4. Fenomena di Yogyakarta dan Semarang dimana halaman kantor TVRI dijadikan sebagai ajang bursa mobil bekas.
  5. Ada informasi bahwa gaji seorang penyiar radio di Semarang (pernah kuliah Komunikasi di UNDIP) hanya Rp. 20.000 sekali tampil, lalu wartawan (juga pernah belajar di UNDIP hanya sekitar Rp. 900.000, kurang dari Upah Minimum Kabupaten!)
  6. Isu jurnalisme kloning - karena keterbatasan sumberdaya, biaya, dan waktu, satu berita yang sama (hanya dengan copy-paste) muncul di beberapa media
Renungan terakhir:
Dalam teori, terdapat 3 pilar demokrasi: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Media ditengarai sebagai pilar ke-4. Tapi bila pilar ke-4 ini belum layak dijadikan pilar (karena digerogoti berbagai masalah seperti halnya di Indonesia), siapa yang bisa diharapkan memperkuatnya? Jawaban: kelas menengah. Tetapi belakangan ada pula yang bilang kelas menengah Indonesia sudah hilang .. nah .. lalu siapa yang bisa menjadi pendukung, penyokong, atau bahkan berperan sebagai pilar ke-4? Walloohua'lam .. hehehe.

Wednesday, 22 September 2010

Competing Paradigms in Qualitative Research

Itulah judul Bab 6 buku karya Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln berjudul The Handbook of Qualitative Research - Edisi 9 (. Bab yang menjadi tugas review para mahasiswa di minggu pertama perkuliahan.


Pada bagian awal, penulis mengatakan bahwa dalam bab ini yang menjadi fokus diskusi adalah empat paradigma dalam penelitian kualitatif yaitu: positivism, postpositivism, critical theory, dan constructivism.

Apa yang dibahas di dalam bab ini adalah berbagai asumsi dari masing-masing paradigma tersebut berikut implikasinya dalam banyak hal mengenai penelitian.

Perlu digarisbawahi di awal, bahwa yang dimaksud kedua penulis dengan istilah paradigma adalah "the basic belief system or worldwide view that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways."

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, definisi itu kira-kira sbb: sistem pemikiran dasar yang mengarahkan peneliti tidak hanya dalam pemilihan metode penelitian tetapi juga dalam berbagai hal mendasar yang bersifat ontologis dan epistemologis ..

Ah .. susah juga ya nerjemahin .. Ntar dilanjut dan dikoreksi lagi .. mo ada kerjaan dari Bos nich ...






Tuesday, 21 September 2010

Paradigma Penelitian Komunikasi

Dalam kulaih Metode Penelitian Komunikasi, dosen kami malam ini, Dr Sunarto, juga membahas paradigma penelitian yang dikemukakan oleh Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln: positivism, postpositivism, critical theory, dan productivism.

Selain kedua ahli di atas, sebenarnya ada lebih banyak lagi ahli yang memperkenalkan beragam paradigma lain. Untuk kelas ini, Mikom Angkatan III (2010), sebagai perkenalan - demikian Dr Sunarto, pendapat Guba dan Lincoln diberi porsi pembahasan lebih banyak. Bahkan, Bab 6 buku tulisan kedua ahli ini harus kami pelajari dan buat previewnya sebagai tugas kuliah.

Ngumpulnya boleh kapan saja .. asal tetap ngumpul .. :)

Sebenarnya mungkin yang lebih ditekankan dosen adalah agar kami benar-benar membaca bab berjumlah 13 halaman ini, dengan tulisan kecil-kecil. hehehe.

Perlu diketahui, pelajaran Metode Penelitian Komunikasi ini nantinya akan ditutup dengan sebuah tugas akhir pembuatan proposal penelitian yang disarankan dibangun dalam paradigma positivisme, sengaja supaya setiap peserta perkuliahan mendapatkan pengalaman menerapkan pendekatan quantitative berparadigma positivisme dalam mengkaji suatu permasalahan komunikasi. Bahan-bahan yang dapat dijadikan materi penelitian termasuk masalah citra, branding, komunikasi marketing, dan lain sebagainya.

Tetapi untuk tugas thesis, kami dibebaskan menggunakan paradigma berfikir mana saja. Cuma disarankan agar tidak terjebak pada pemilihan topik ataupun pendekatan yang 'menyulitkan' misalnya kesusahan dalam mencari narasumber penelitian terutama bila waktu sudah mepet, harus segera menyelesaikan studi .. hehehe ...

Ini bener juga ya ... Kita memang harus berfikir pragmatis, sambil hitung duit yang tersedia buat SPP catur wulan depan, walaupun ini tidak berarti mengorbankan kualitas penelitian.

Dua Buku Penting Komunikasi

Perkenalan pertamaku dengan buku komunikasi adalah di perpustakaan Mikom (Magister Ilmu Komunikasi) - UNDIP. Seusai kuliah umum tanggal 2 September lalu, aku sempatkan mampir ke perpustakaan kecil milik jurusan yang terletak satu ruangan dengan sekretariat Mikom di kawasan boulevard kampus Imam Barjo, di Jalan Pahlawan, Semarang.

Aku terkagum-kagum dengan koleksi yang ada. Walau hanya memiliki dua rak, perpustakaan sempit ini (betul-betul sempit dalam arti sebenarnya) menyimpan harta karun luar biasa. Berbagai buku terbaru komunikasi terbitan luar negeri ada di sini, digolongkan dalam (sekurangnya) kelompok teori, penelitian, dan media.

Wow .. aku terpana.

Beruntung aku diberi kesempatan pinjam langsung walau belum benar-benar resmi jadi mahasiswa (kartu mahasiswa belum ada!) :)

Setelah pilih-pilih beberapa saat, aku putuskan pinjam buku berikut:

1. Introducing Communication Theory - Analysis and Application karya Richard West dan Lynn H. Turner (Mc Graw Hill - 2008)

2. The Basics of Communication Research oleh Leslie A Baxter dan Earl Babbie (Thomson Wadsworth - 2004)

Buku pertama berisi pengetahuan dasar tentang komunikasi, definisi, sejarah, dan terutama teori-teori komunikasi yang ada sampai saat ini, sementara buku kedua berisi penjelasan tentang dasar-dasar riset dalam komunikasi, etika riset, pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dan masih banyak lagi. Maaf gak bisa jelasin lebih banyak lagi karena baru baca beberapa halaman awal saja. Bukunya tebal-tebal, masing-masing sekitar 500 halaman .. :)

But I believe, those new in the world of communication theory and research should definitely own these two books! Aku sendiri udah copy .. hehehe ... Hidup photocopy! Merdekaaaa!

Sunday, 19 September 2010

Definisi Komunikasi

Tentang definisi komunikasi, apa yang dikemukakan Katherine Miller dan Sarah Trenholm dalam buku Richard West dan Lynn H. Turner berjudul Introducing Communication Theory - Analysis and Application (McGraw Hill: 2007) cukup memberi penjelasan.

Katherine Miller mengatakan: 'conceptualizations of communication have been abundant and have changed substantially over the years." Konsep komunikasi sudah banyak sekali, berubah-ubah setiap waktu, menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Lalu Sarah Trenholm menyebutkan, "although the study of communication has been around centuries, it does not mean communication is well understood". Trenholm menyimpulkan mendefinisikan komunikasi merupakan dilema tersendiri.

Dari penjelasan dosen kami semalam (Dr Turnomo Rahardjo), saya memetik catatan bahwa terdapat banyak sekali definisi komunikasi. Masing-masing tergantung filsafat berfikir yang dianut, tataran komunikasi dimana komunikasi terjadi, siapa yang terlibat, tujuan, bahkan kepentingan yang melambari.

Tidak mungkin menemukan satu definisi yang berlaku umum.

Tetapi saya melihat, definisi yang dikemukakan Richard West dan Lynn Turner lumayan umum juga: communication is a social process in which individulas employ symbols to establish and interpret meaning in their environment.

Definisi di atas menjelaskan bahwa komunikasi merupakan proses sosial dimana individu yang terlibat memanfaatkan simbol (verbal maupun non verbal) untuk menciptakan dan mengartikan makna.

Ngobrol adalah contoh komunikasi. Diskusi dalam kelas juga. Pidato di depan umum, televisi, bertengkar, berkelakar, radio, tersenyum, melambai tangan, dll, adalah hal-hal yang bisa dijelaskan sebagai contoh maupun media komunikasi.

Saturday, 18 September 2010

Kuliah Lagi, Semangat Baru

Kuliah lagi! Itulah yang akan segera aku lakoni mulai Senin, 20 September 2010 ini. Kali ini di Program Magister Komunikasi, Universitas Diponegoro, Semarang. Kali sebelumnya, di Program Kependudukan UGM, tapi sampai sekarang gak rampung-rampung karena thesisnya gak aku kerjakan ... ha ha ha ... dasar pemalas! Semoga yang di UNDIP ini berjalan lancar-lancar saja.

Ide kuliah bermula dari obrolan iseng dengan istriku, Naning, pada minggu pertama kami pindah domisili ke Semarang, Juli lalu. Sebelumnya kami tinggal di Depok, selatan Jakarta. Dengan kemudahan aksesibilitas di Semarang, ide bersekolah tiba-tiba saja terlihat sangat memungkinkan. UNDIP lama (Kampus Pleburan di jalam Imam Barjo - Simpang Lima) hanya sekitar 30 menit dari tempat tinggal kami di Banyumanik. Keluar dari rumah 5 menit sudah masuk pintu tol Tembalang. Lima menit kemudian, sudah keluar di pintu tol Gayamsari. Mengarungi jalan Ahmad Yani menuju Simpang Lima perlu waktu antara 10-15 menit. Paling lama 20 menit. Total 30 menit dari rumah ke kampus. Dari sisi waktu tempuh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalau misalnya dari rumah kami di Depok ke Kampus Universitas Indonesia Depok, harus berjibaku dengan kemacetan di Jl. Sawangan dan Jl. Margonda Raya, kalau tidak tahu jalan belakang lewat Tanah Baru.

Dari sisi waktu, tawaran program Magister ini juga sangat menarik. Kuliah malam jam 7 sampai 10 malam, Senin sampai Kamis. Dengan sistem catur wulan dan jumlah 'libur' yang tidak banyak, kuliah teori diharapkan selesai dalam 3 catur wulan (1 tahun) dan catur wulan berikutnya untuk penelitian thesis. Kalau lancar, dalam 16 bulan sudah bisa wisuda. Sepuluh tahun lalu, kami sekeluarga pindah dari Yogyakarta ke Jakarta. Rasanya baru 'kemarin' saja. Bagaimana kalau 16 bulan? Aku berharap - gak akan terasa!

Biaya kuliah, Syukur Alhamdulillah, saat ini masih terjangkau. Pendaftaran Rp. 300 ribu untuk ikut tes potensi akademik dan Bahasa Inggris. Setelah dinyatakan lulus, biaya per catur wulan adalah Rp. 7.8 juta. Kalau semua lancar dan cukup 5 catur wulan saja, total uang kuliah sekitar Rp. 31 juta lebih dikit. Kalau duit segitu dipakai modal beli angkot, kayaknya gak cukup deh ... hahaha.

Begitulah cerita awal tentang kuliah ini. Oh ya, di UNDIP ini aku mengambil Jurusan Komunikasi Strategis. Dari namanya, aku menduga pelajaran yang akan aku peroleh akan relevan dengan apa yang saat ini aku tekuni sebagai staf komunikasi di sebuah proyek penelitian agroforestri yang berkantor di Bogor.

Ini juga cerita awal tentang blog ini, yang aku rencanakan berfungsi selayak buku tulis berisi catatan kuliah, tentang buku atau paper yang aku baca, juga diskusi-diskusi yang aku ikuti, semua di seputar isu-isu komunikasi. Harapannya, aku bisa 'belajar' dalam arti membaca ulang, menuliskan kembali, juga membaca komentar dan pendapat pengunjung blog, dst. dst.